Mohon tunggu...
KURNIAWAN WIDIAJI
KURNIAWAN WIDIAJI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Le coeur a ses raisons que la raison ne connait point

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Dekonstruksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara di Era Milenial

31 Mei 2022   10:46 Diperbarui: 31 Mei 2022   11:15 1957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth



Kihajar dewantara telah meninggalkan kita 63 tahun yang lalu, namun pemikirannya tak lekang oleh zaman. Pandangannya yang visioner masih relevan untuk diterapkan dalam pendidikan di era milenial. 

Merevitalisasi pemikiran kihajar dewantara sebagai sebuah gagasan visioner  bukan saja untuk mengkonstruksi kembali pendidikan ala indonesia namun sekaligus sebagai pembentukan nation and character building manusia indonesia yang merdeka secara lahir dan bathin.  Pembentukan karakter berkepribadian  Indonesia inilah yang ingin dihidupkan kembali dalam pembelajaran di indoneisa.

Salah satu pemikiran khas dari Kihajar dewantara adalah mengenai budi pekerti. Budi pekerti merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan suatu tenaga. Budi pekerti juga bisa dimaknai sebagai perpaduan antara cipta (kognitif)dan rasa (afektif) sehingga menghasilkan karsa (psikomotorik). 

Kihajar dewantara menolak sistem pendidikan yang hanya sebagai  tempat pendidikan pikiran atau rasio yang menebarkan ilmu pengetahuan dan kecerdasan saja tanpa adanya  pendidikan sosial emosional atau tanpa adanya olah rasa. Bagi kihajar dewantara pendidikan cultural juga penting untuk melengkapi mempertajam,  dan memperkaya pendidikan kecerdasan murid.

Maka, Guru sebagai pendidik milenial  harus dapat menghayati pemikiran kihajar dewantara dalam konteks kekinian, misalnya mengenai pendidikan yang humanis, yang terbukti masih relevan, agar mampu mengantarkan murid siap mengisi zamannya kelak. Semakin berkembangnya jaman semakin besar tantangan yang dihadapi oleh guru. 

Menurut Kihajar Dewantara, Pendidikan tidak hanya mengembangkan kemampuan berfikir saja melainkan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki murid yaitu kecerdasan rasa, karsa, cipta dan karya agar murid menjadi "murid yang seutuhnya." 

Pengembangan budi pekerti berupa olah pikiran (olah cipta), pengembangan budi pekerti (olah rasa, karakter /menghaluskan rasa atau karakter), kemauan (olah karsa) dan olah raga(jasmani) adalah bentuk pendidikan yang holistik yang akan menuntun bagaimana murid dapat tumbuh kembang secara baik. Sekaligus menjadikannya sebagai "manusia" yang merdeka. 

Guru tidak cukup hanya membantu memberikan pengajaran yang berorientasi pada penguatan ketrampilan berfikir (kognitif) saja. Tapi juga mendampingi murid untuk mengembangkan kekuatan batinnya, yaitu sosial,emosi , empati, dan lain sebagainya. Sebab, dalam pandangan Kihajar dewantara manusia merdeka adalah manusia yang dapat memerintah dan menguasai dirinya(mandiri), dan itulah kodrat sebagai manusia.

Lantas, bagaimana praksis pemikiran Kihajar dewantara diatas diterapkan dalam pembelajaran di era milenial?  Di era digital ini  semua guru mulai dituntut untuk bisa meningkatkan  kecanggihan berfikir bagi peserta didiknya. 

Salah satunya dengan mengoptimalkan penerapan konsep berfikir  komputasional, yaitu suatu metode menyelesaikan masalah dengan menerapkan tehnik ilmu komputer.

 Singkatnya, melalui kemampuan Computational thinking akan menghasilkan generasi milenial yang mampu berfikir canggih ala komputer. Kecanggihan berfikir ini dianggap sesuai  untuk para generasi milenial  yang hidup di era budaya digital. Kita semua tahu , era digital  telah  membentuk tatanan baru dimana manusia dan teknologi hidup berdampingan dan senantiasa berkolaborasi. Ini adalah realitas yang harus dihadapi dengan penuh rasa optimisme.

Berbagai tawaran metode pembelajaran inovatif dalam merespon era digital sebenarnya  sudah  bermunculan sebelum pandemik ini menjalar sampai ke Indonesia. Unsur-unsur pembelajaran terbaru yang dimaksud, antara lain; TPACK (technological, pedagogical, content knowledge) sebagai kerangka dasar integrasi teknologi dalam proses pembelajaran, pembelajaran berbasis Neuroscience, pendekatan pembelajaran STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics), HOTS (Higher Order Thinking Skills), Tuntutan Kompetensi Abad 21 atau 4C (Comunication, Collaboration, Critical Thinking, Creativity), kemampuan literasi,  dan unsur-unsur lain yang terintegrasi dalam komponen maupun tahapan rencana pembelajarannya.

Meski demikian ada hal yang perlu kita kritisi juga. Paling tidak dari sudut pandang pemikiran kihajar dewantara yang mengedepankan budi pekerti yang merupakan perpaduan cipta (kognitif), rasa (afektif), dan karsa (psikomotorik). 

Terdapat kekhawatiran di era digital ini para guru nantinya akan cenderung disibukkan dengan mengoptimalkan peserta didik di ranah kognitif. Dulu generasi abad 20, adalah generasi yang suka membuat buku. Kini abad 21, generasi ini akan disibukkan menjadi generasi pembuat aplikasi. 

Guru akan kian berfokus pada perilaku yang menekankan "intelektual komputasional" peserta didiknya. Keterampilan dalam berfikir, pengetahuan dan logika  dijadikan sebagai primadona, sementara  penilaian penilaian moral dan sikap seakan tersisihkan , dijadikan nomer kesekian karena bukan diangggap sebagai sesuatu yang" ilmiah." Ranah kognitif yang lebih menekankan kemampuan dan kecerdasan otak tersebut   dikhawatirkan akan melemahkan sisi kemanusiaannya. 

Terlebih dengan konsep berfikir komputasional, yang membentuk manusia menjadi berfikir ala komputer.   Sydney Justin Harris jurnalis dari Amerika Serikat pernah mengingatkan  "The real threat is not when computers start to think like humans, but when humans start to think like computers " (ancaman nyata sebenarnya bukan pada saat komputer mulai bisa berpikir seperti manusia, tetapi ketika manusia mulai berpikir seperti komputer. )

Dalam budaya digital, sesuatu dianggap  proses yang logis, bila melalui algortima berfikir ala komputer yang mekanistik. Demikian pula dengan pendekatan pembelajaran STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics, lebih cenderung membentuk siswa berfikir logis mekanistik.

 Logika yang dipahami mekanistik ini oleh Horkeimer disebut sebagai bentuk "rasio kognitif instrumental", yaitu rasio yang hanya menitik beratkan pada kepentingan tekhnis yang biasanya dilakukan dalam wilayah ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai obyek murni. Rasio macam ini biasanya dilakukan dalam ilmu biologi, kimia, fisika, matematika," seni digital" juga ilmu ilmu tentang pemesinan yang kesemuanya tunduk pada hukum hukum mekanis. Kebenaran rasio semacam ini menganggap bahwa yang "rasional" itu operasional, efektif, efisien, dan dapat dioperasionalkan. 

Pembahasan tentang Roh, dewata, mitos, kepercayaan-kepercayaan, penilaian-penilaian moral, disingkirkan dari cangkupan "rasional" itu. Rasio dalam konteks kebudayaan digital ini tidak mengandung isi moral. Sebab semua harapan, penilaian moral, unsur subyektif dianggap tidak rasional serta menghambat efektifitas, efisiensi, dan operasionalitas sistem sosial dan tekhnologi.

Untuk menyikapinya, Guru, sebagai pendidik milenial yang "berjiwa" Kihajar Dewantara harus jeli dalam menerapkan pembelajaran yang sesuai karakteristik mata pelajarannya. Menurut Habermas, pemahaman "rasionalitas" dalam wilayah ilmu ilmu sosial memerlukan pendekatan yang spesifik berbeda. 

Dalam konteks penelitian sosial, maka perlulah menggunakan pendekatan humanistis-interpretatif. Bagaimanapun wilayah ini adalah wilayah sosial yang manusiawi, suatu wilayah yang dihayati. Wilayah ini mencakup banyak sekali bidang seperti sosiologi, politik, antropologi, kesenian, sejarah, arkeologi, psikologi dan lain lain.

 Memahami dan menafsirkan "teks sosial" masa lalu dalam wilayah ilmu sosial dibutuhkan sebuah metode yang menangkap keunikan, perubahan, kedalaman, penghayatan, proses proses subyektif, dan makna. Singkatnya adalah sebuah penelitian kualitatif. 

Misalnya bagaimana menafsirkan teks teks kuno seperti mitologi, tradisi-tradisi, karya seni yang kesemuanya dari masa lampau. Rasionalitas dalam penelitian sosial dipahami sebagai "rasionalitas makna-makna simbolis," seperti kalau kita berusaha memahami makna mitos, maksud ungkapan hati, makna kata kata, tradisi dan seterusnya. 

Blaise pascal ilmuwan dan filsuf dari perancis, memberikan quote yang menarik :   "le qoeur a ses raison que la raison ne connait point" (hati memiliki  alasan alasan  yang tidak dimengerti  akal atau rasio) Manusia tidak hanya mengetahui kebenaran melaui rasio tapi juga menggunakan hati. Logika dan rasa di sini menjadi satu kesatuan rasionalitas, yang menurut Pascal disebut sebagai nalar yang lebih menyeluruh, yang tidak hanya nalar belaka dalam cangkupan  sains, ada pula nalar lain, yang ia sebut raison du Coeur (nalar hati atau nalar rasa).

Kesadaran akan perubahan jaman,serta  kesadaran akan kebutuhan belajar tidak hanya diharapkan tumbuh dalam diri murid tetapi juga muncul mulai dalam diri kita sebagai pendidik fasilitator pembelajaran. 

Selama Pandemik Covid disatu sisi ini kita mengalami learning loss namun disisi lain justru menjadi  blessing in disguise (berkah terselubung) untuk segera mengakselerasi  revolusi pendidikan di Indonesia. Guru seakan baru terbangun dari tidur panjang yang menina bobokan mereka dengan cara pembelajaran yang konvensional. Tiba tiba mereka dipaksa keluar dari zona nyaman. Kondisi pandemi memaksa mereka untuk lebih akrab dengan dunia digital. 

Dalam pembelajaran online menghasilkan  revolusi budaya dalam membangun interaksi sosial antara guru dan peserta didik. Tanpa disadari , perlahan Guru bergeser menjadi fasilitator agar murid belajar secara mandiri. Guru disekolah bukan lagi  satu satunya narasumber. 

Generasi milenial juga makin sadar kalau mereka hidup dalam berkelimpahan data. Internet kini menjadi jendela dunia. Sekarang guru tidak lagi menjadi satu satunya sumber pengetahuan, tetapi guru berperan sebagai fasilitator pembelajaran. Hal diatas kemudian mengingatkan kita  pesan dari kihajar dewantara "tuntunlah murid sesuai dengan zamannya"

Salah satu cara untuk  meningkatkan  level berfikir murid diera milenial adalah melalui kemampuan HOTS (High Order Thinking Skill) yaitu keterampilan berfikir tingkat tinggi berupa kemampuan berfikir yang tidak sekedar mengingat, namun mampu mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi.

Menurut Benjamin S Bloom, hafalan atau mengingat  merupakan tingkat paling rendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors). Padahal di era yang berlimpah data  dan informasi ini kita tidak boleh  hanya sekedar mampu membaca dan mengingat suatu informasi , namun ,menginvestigasi,menganalisa  dan mengevaluasinya.

Guru di era milenial harus mampu memanfaatkan big data ini menjadi suatu diskusi pembelajaran yang komprehensif dan multidimensional. Namun, dengan berlimpahnya data dan informasi  yang tersedia di internet, terkadang membuat mereka rentan terpengaruh disinformasi yang menyesatkan. Disinilah peran Guru sangat penting saat memberikan bimbingan dan panduan dalam merespon berbagai  data dan informasi yang membanjiri belantara dunia medsos melalui konektivitas internet.  

Disatu sisi Guru mengizinkan peserta didik untuk mengakses informasi seluas luasnya berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya, disisi lain Guru tiada henti memberi pengarahan dan  bimbingan pada peserta didiknya terhadap informasi yang keliru melalui kajian diskusi yang logis,kritis  dan konstruktif. Artinya, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kognitif yang kompleks serta kemampuan sosial emosional menjadi begitu sangat penting. 

Bukan hanya bagi murid melainkan juga bagi guru sebagai fasilitator pembelajaran. Guru sebagai contoh bagaimana mereka harus mengembangkan kemampuan kemmpuan tersebut pada dirinya, kemudian meneruskannya  dalam membantu murid untuk menguasainya.

Sumber sumber pengetahuan yang kini terbuka luas akses dan beragam bentuknya, seperti melalui internet yang menyediakan beragam informasi yang kita inginkan, sehigga  cara menuntun dan membimbing muridpun sangat berbeda. 

Sebagai fasilitator guru menempatkan murid menjadi subjek atau individu aktif dalam pembelajaran untuk mencari dan membangun pemahamannya sendiri, bukan sebaliknya murid dianggap sebagai obyek pembelajaran atau individu pasif yang hanya  tergantung pada apa yang diberikan guru. Singkatnya,peran guru adalah memfasilitasi dengan baik dan benar bagaimana murid dapat membangun pemahamannya  dengan maksimal.  

Mungkin saja murid terhubung dengan beragam informasi dan pengetahuan yang berlimpah, tetapi tidak ada tuntunan dari guru. Apakah  informasi dan pengetahuan yang diakses murid sesuai dengan fase perkembangan dan  kebutuhan belajarnya? Di era informasi yang serba terbuka, kini murid bebas mengakses informasi jawaban dari sumber manapun, termasuk google.   

Gurupun harus tanggap, dimana Google terkadang menawarkan berbagai perspektif jawaban, yang memungkinkan peserta didik memiliki keberagaman jawaban pula. Tugas guru  adalah menampung data data tersebut menjadi rangkaian pembahasan yang "penuh gizi." bagi peserta didiknya. 

Sebab tanpa disadari, keberagaman jawaban akan memperkaya perpektif mereka, terlebih di ilmu yang berkaitan bidang ilmu ilmu sosial. Maka yang dibutuhkan generasi abad 21  saat ini adalah penalaran, bukan menghapal, karena mereka kini sudah hidup di era berkelimpahan data. Bung Hattapun jauh jauh hari sudah mengingatkan  "membaca tanpa dipahami bagaikan makanan tanpa dicerna". Sudah bukan saatnya guru mengatakan " jawaban harus sama dengan LKS..!!".  

Pemanfaatan big data sebagai sumber belajar menjadi keniscayaan pembelajaran abad 21.  Guru milenial harus  memilki pemikiran yang konvergen, yaitu menuntun murid dengan pemikiran terbuka terhadap segala sumber belajar, mengambil praktik praktik baik dari kebudayaan lain, menjadikan kebudayaan kita bagian dari alam universal.

Di abad 21,  generasi milenial mengemban" tugas sejarah" yang berbeda dengan  generasi sebelumnya. Sedangkan tugas guru diera milenial adalah merespon panggilan sejarah "generasi Z" tersebut. (bahkan sudah mulai  memasuki generasi Alpha - yang merupakan anak anak yang lahir ditahun 2010an)  Guru milenial seharusnya sudah merancang untuk membentuk masa depan manusia Indonesia di abad selanjutnya. 

Salah satunya konsep "Merdeka belajar" yang saat ini  diterapkan menekankan pada keunikan tiap siswa berdasar minat, bakat dan potensinya.  Sebelum masa pandemi, gagasan teoritik mengenai rancangan pembelajaran inovatif sebenarnya sudah bertebaran di berbagai jurnal ilmiah , artikel , hingga skripsi. 

Namun terkadang masih indah ditataran konseptual dan merasa enggan  mengawalinya. Kondisi selama pandemi Covid menjadi situasi yang memaksa kita semua untuk memulainya  dengan segera, kendati mungkin terengah-engah diawalnya. namun seiring masa pandemi, kita sebenarnya telah membangun suatu budaya baru didunia pendidikan. 

Kita kini sudah terlanjur melangkah dan bukan saatnya lagi menengok kebelakang. Zaman terus bergerak maju. Semua telah berbeda. Kembalinya Pembelajaran Tatap muka, bukan berarti kembali  mengajar dengan cara  cara konvensional. Di era adaptasi kebiasaan baru di dunia pendidikan, kita akan hidup dalam tatanan budaya pembelajaran yang baru pula.

Menghidupkan kembali semangat Kihajar dewantara dalam pembelajaran di era milenial menjadi salah satu tujuan dari program merdeka belajar. Dalam hal ini ,Pendidik berperan dalam membantu murid memenuhi kebutuhan lahir dan bathin mencapai keseimbangan dalam menjalani kehidupan.  Makna filosofis dari merdeka belajar adalah dimana murid harus memilki jiwa  yang merdeka. 

Manusia yang merdeka yaitu manusia yang dapat bersandar atas kekuatan lahir dan bathinnya sendiri, dan tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian memandang murid sebagai "manusia" secara utuh, harus menjadi dasar kita sebagai pendidik dalam mendampingi murid murid dan menentukan tujuan belajar, merecanakan pembelajaran sesuai kebutuhan murid (lahir  maupun bathin) yang akan membantu murid murid kita mengembangkan kekuatan lahir dan bathinnya. 

Tetapi agar mencapai keseimbangan menjadi " manusia", murid juga sebaiknya dilatih dan dikuatkan kebutuhan batinnya.  Selain itu Guru juga membimbing murid untuk memiliki kompetensi, baik kompetensi berfikir kritis (critical thinking),kreatif ,kolaborasi, komunikasi dengan memberikan pertanyaan pertanyaan terbuka dalam proses belajar murid.

Untuk mendorong murid  berfikir kritis dan logis, seni bertanya atau kemampuan bertanya ini juga sangat penting bagi guru sebagai fasilitator. Agar murid berani mengeksplorasi sumber sumber wawasan pengetahuan, berdiskusi dan berdialog sampai pada akhirnya membantunya memilki kompetensi abad 21 tersebut.  

Salah satu contoh metode pembelajaran abad 21 yang "berpusat pada murid" adalah Pembelajaran Berbasis Project (Project Based Learning.)  Guru dapat mengajak murid mengamati permasalahan dan potensi yang ada disekitarnya.  Hal ini penting untuk memandang murid sebagai bagian yang tidak terpisah dari lingkungannya. Sebab proses tumbuh dan hidupnya murid sangatlah beragam, sesuai kodrat alam dimana ia tumbuh dan berkembang. 

Oleh karena itu  pendidik sebaiknya dapat menuntun murid untuk menemukan konteks pembelajaran yang relevan terhadap dirinya dan lingkungan dimana mereka berada. Seorang anak  atau murid yang dilahirkan dengan kodrat alam perkotaan, berbeda permasalahannya dengan  murid yang hidup didaerah pesisir. Kita pendidik sebaiknya membantu mendekatkan  murid dengan konteks kehidupannya. Kemudian, dari karakteristik kodrat alam tersebut guru bersama murid merancang proyek yang akan dilakukan. 

Murid mencari data dan informasi dengan bimbingan guru, sampai murid  dapat menyimpulkan dan menyampaikan hasilnya melalui media yang menurutnya sesuai. Pembelajaran berbasis projek diatas merupakan salah satu  contoh wujud praksis "Guru menuntun murid sesuai kodrat alamnya."

Selain memperhatikan kodrat alam dari murid , naluri mendidik guru perlu  dilengkapi pula  dengan ilmu pendidikan yang selaras dengan zaman. "Tuntunan" yang baik kepada murid didasarkan dari panduan teori atau pengetahuan tentang "tuntunan" yang terbaik. Saat ini, sangatlah riskan apabila  di era beragam informasi dan pengetahuan yang berlimpah tetapi tidak ada tuntunan dari guru. Guru semestinya dapat  memastikan informasi dan pengetahuan yang diakses murid sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhan belajarnya. Mereka  membutuhkan semacam pagar atau pelindung. Guru milenial seharusnya mampu menjaga dan menolak semua bahaya yang mengancam kekuatan kekuatan dan potensi yang sedang tumbuh dalam diri murid murid kita

Salah satunya adalah "bahaya disinformasi" yang berseliweran di dunia internet. Bahaya disinformasi  yang dimaksud diatas bukan tanpa alasan. Menurut Ralph Keyes,kita saat ini  hidup  di era post truth. (Istilah ini sebenarnya pertama kali  dipakai oleh Steve Tesisch.) Secara sederhana diartikan bahwa  kita hidup diera "kebohongan yang dapat menyamar  menjadi kebenaran." Ini tentu menjadi tantangan tersendiri  bagi  guru yang bersemangat ingin mengoptimalkan sumber pembelajarannya melalui internet. Biasanya ini rentan di mata pelajaran ilmu ilmu sosial. Meskipun tidak menutup kemungkinan dimapel lain. 

Di era ini , setiap orang dapat menerbitkan opininya, serta menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Pendapat individu atau opini kelompok  lebih ditonjolkan dan diangkat sebagai 'kebenaran', bukan faktanya. Masyarakat digiring untuk berdiri di atas fakta-fakta yang sudah  dimanipulasi, dipoles, dan disembunyikan dari konteksnya. Di era post-truth, masyarakat pada akhirnya akan lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran. Keriuhan media sosial, merupakan salah satu muatan kunci dalam budaya post-truth

. Dimana opini lebih kuat dan menenggelamkan bukti atau fakta. Fenomena post-truth dapat dilukiskan dalam kalimat "Pendapatku lebih berharga daripada fakta-fakta." Meskipun post-truth "agak berbeda" dengan hoax atau fake news yang memuat kecenderungan menyesatkan atau dis-informasi atau faktanya yang dipalsukan, namun demikian ada "persamaannya" juga dengan fenomena  hoax atau fake news. 

Persamaan disini terletak pada bentuk keriuhan orang untuk bersaing mengklaim kebenaran. Tiap-tiap kelompok masyarakat mengonstruksi kebenaran menurut versinya masing-masing dan disesuaikan dengan  kepentingannya  masing-masing. Mereka lebih menonjolkan opini dan tafsir daripada  fakta itu sendiri. Kondisi seperti diatas yang menurut sosiolog Prancis, Jean Baudrillard, disebut sebagai fenomena hiperealitas.

Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian, tercampur-baur,  fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Dalam istilah Umberto Eco disebut sebagai  "kepalsuan yang otentik".

Maka, ketika Guru memberikan kesempatan muridnya   untuk mendapatkan  informasi seluas luasnya di internet  dalam upaya mengoptimalkan sumber pembelajaran dimapelnya, guru tersebut juga harus memilki analisa yang terukur, senantiasa meng upgrade dan memperluas  pengetahuannya sehingga memilki paradigma berfikir yang makin multidimensional. Guru  harus open minded dan jangan mempersempit perspektifnya dengan cenderung "hanya ingin membaca dan meyakini apa yang ingin mereka percaya." 

Sangatlah penting memberi pembekalan kemampuan analisa  pada para siswa untuk mengimbangi fenomena post-truth guna menjaga keutuhan akal sehat mereka. Dalam melakukan pendampingan untuk memastikan  peserta didik  memang  sungguh sungguh cerdas dalam mengakses informasi yang mereka dapatkan, tentu yang dibutuhkan  tidak hanya kecerdasan intelektual saja, melainkan kecerdasan emosional dan sosial. Kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence) dan penggunaan digital (digital use) yang sehat  harus dimiliki setiap siswa dengan terus meningkatkan literasi digital dalam melawan fenomena post truth yang berkonten hoax, false news maupun fake news. Kemudian yang tak kalah penting dalam menghadapi literasi digital di abad 21  ini adalah mengajak  para siswa sebagai generasi milenial untuk berpikir kritis (critical thinking), yaitu kemampuan untuk membedakan antara informasi nyata dan bohong, konten informasi yang valid terpercaya maupun yang diragukan.

Selain itu, sesuai dengan "jiwa kihajar dewantara", tugas  guru diera milenial adalah  bagaimana tetap menjadi guru yang humanis di era digital, yang mampu memahami psikologi anak anak generasi Z. Di era digital, guru milenial   tetap harus  memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, dan latar belakang sosial-budaya. Selain kompetensi dalam digital pedagogy , guru milenial mampu memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, serta soft skill berupa kemampuan berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. 

Apabila guru sudah menguasai berbagai kompetensi diatas, maka ia akan siap mengajak siswanya untuk menggunkan sumber belajar yang luas dan terbuka , karena telah memilki berbagai antisipasi dan mengetahui pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karateristik mata pelajarannya. Guru yang merupakan pilar peradaban  punya tugas sejarah untuk merancang peradaban masa depan bagi generasi anak cucu berikutnya. Sementara itu, siswa siswi  generasi Z, yang kini  hidup di era  global village, sedang  berusaha  menjawab tantangan zaman yang tengah mereka lakoni.

Saat ini kita memasuki era digitalisasi yang sering disebut sebagai  revolusi industri 4.0. , sebentar lagi mungkin memasuki 5.0. Banyak pekerjaan yang dulu dilakukan oleh manusia, sekarang telah diambil alih oleh mesin dan robot artificial intelligence. Diera inilah kita akan menentukan pilihan : "teknologi yang mengendalikan manusia atau sebaliknya, manusia yang mengendalikan teknologi."  Guru di era digital harus responsif terhadap pergerakan zaman yang begitu cepat. Salah satunya adalah harus tahu  bagaimana cara untuk memenangkan persaingan di era revolusi industri 4.0. Pertama yang dibutuhkan di era revolusi 4.0 adalah  menguasai soft skill. Jadi, prestasi akademis dan skill yang bersifat teknis harus diimbangi juga dengan penguasaan soft skill. 

Menurut Kihajar Dewantara, setiap murid adalah individu yang utuh dan unik. Teori konvergensi merupakan pendekatan yang digunakan oleh Kihajar Dewantara. Bagi beliau, kodrat manusia sebagai suatu "kertas yang sudah terisi dengan tulisan tulisan yang samar" dan "belum jelas arti dan maksudnya." Disinilah tugas pendidikan membantu manusia atau individu untuk dapat menebalkan dan memperjelas arti dan maksud tulisan samar yang ada dikertas tersebut dengan tuntunan terbaik. 

Sebagai pendidik kita dapat menggunakan metode, strategi dan tehnik pembelajaran sesuai keunikan potensi masing masing murid untuk membantu mereka mengembangkan kekuatan kodratnya. Begitupun dengan potensi atau kekuatan yang ada  pada murid. Ada murid yang memilki kekuatan atau potensi pada bidang seni, ada juga murid yang berpotensi bahasa,Maka kita sebagai pendidik harus memilki kepekaan  dan kemampuan untuk mengidentifikasi keunikan yang ada pada murid. Hal ini mengingatkan kita pada 8 jenis kecerdasan anak yang diperkenalkan oleh Howard gardner. Guru seharusnya mengenali jenis kecerdasan anak kemudian membantu mengasah kecerdasannya dan mendukung  anak sesuai kecerdasannya. Delapan kecerdasan tesebut antara lain

1. Kecerdasan verbal linguistic : 

biasanya disini anak pandai mengolah kata,seperti  humor berbasis linguistik, pandai berdebat, berbicara formal, menulis kreatif, atau menceritakan lelucon.

2. Kecerdasan matematis --logis : 

ada anak yang menikmati bekerja dengan angka dan rumus matematika dan menyukai tantangan kompleks untuk  dipecahkan

3. Kecerdasan visual --spasial.  

Biasanya anak tersebut pandai menggambar, melukis, membuat desain, membaca peta, menemukan jalan disekitar tempat baru.

4. Kecerdasan intrapersonal.  

Anak  tersebut biasanya sangat intuitif, memilki  kesadaran tentang dunia batin diri, emosi, nilai, keyakinan, dan berbagai pencarian untuk spiritualias sejati. Banyak mengajukan pertanyaan yang "bersifat filosofis."

5. Kecerdasan kinestetik- tubuh . 

Anak akan jenis ini akan menyukai gerak fisik seperti  menari, membuat dan menciptakan sesuatu dengan tangan, atau bermain peran

6. Kecedasan interpersonal. 

Anak jenis ini memilki ketrampilan sosial melobi , salah satunya mempengaruhi teman secara persuasif.

7. Kecerdasan naturalis . 

Ada anak yang  memilki  kecintaan pada alam bebas , seperti suka mendaki gunung, pandai bercocok tanam, atau pemelihara   hewan yang baik.

8 . Kecerdasan  musik. 

Anak jenis ini memilki  kepekaan  terhadap nada, pandai menirukan suara ,memainkan alat musik dan menyanyi.

Demikianlah, dari penjelasan diatas maka Kodrat yang dimilki setiap murid tidak sama. Setiap murid memiliki kekuatan kodratnya . Ada yang dianugerahi multi kecerdasan yang sama baiknya, ada yang menonjol disalah satu kecerdasan saja,  dan sebagainya. Misalnya ,ada anak yang memiliki kombinasi 8 kecerdasan diatas, seperti kemampuan berkomunikasi verbal  dan non verbal: (bernegosiasi, kemampuan persuasi, menguasai bahasa asing, presentasi,juga kemampuan public speaking yang pandai memainkan intonasi nada,gesture tangan,ekspresi wajah, membaca body language lawan bicara dan lain lain). Singkatnya, setiap murid harus mendapatkan tuntunan sesuai dengan keunikannya. Kemampuan soft skill lain seperti kemampuan berpikir kritis, kreatif, jiwa leadership, dan memilki  solusi-solusi inovatif terhadap permasalahan yang dihadapi juga  sangat diperlukan. 

Hal ini bisa dikembangkan sesuai dengan bakat dan potensi yang dimiliki masing masing murid. Guru bukan lagi seorang monolog, dan satu satunya narasumber. Di era merdeka belajar, siswa diberi kebebasan untuk mengutarakan berbagai ide inovatif  bahkan yang  out of the box sekalipun. Guru tidak perlu khawatir, style berfikir  seperti itu biasanya  memang sudah menjadi ciri khas yang dimilki kalangan remaja. Justru  ide ide yang "out of the box"  itulah  yang seringkali mampu mendobrak zaman dan sejarah telah  berkali kali membuktikan itu.

Melihat tantangan diatas ,maka di abad 21 ini kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kognitif yang kompleks  serta kemampuan sosial emosional menjadi begitu sangat penting. Salah satu kompetensi mendasar yang menunjang penguasaan penguasaan tersebut adalah kompetensi literasi, baik untuk bahasa, matematika financial, sains dan digital. Guru  sebaiknya menjadikan kompetensi dasar ini sebagai prasyarat wajib yg dikuasai murid pada abad 21. Penting pula untuk menumbuhkan pola pemikiran "growth mindset"(pola pikir pembelajar) baik bagi guru maupun murid.  Artinya murid memiliki keyakinan untuk dapat terus berkembang dan berprestasi dengan berusaha secara maskimal .Pola pikir ini juga perlu dimilki oleh guru sebagai fasilitator untuk mendorong proses belajar murid yang menumbuhkan pola pikir pembelajar.

 Kihajar Dewantara juga mengingatkan bahwa Pendidikan yang sesuai dengan bangsa kita adalah pendidikan yang humanis, kerakyatan (berbasis kearifan lokal sosial dan budaya) dan kebangsaan. Dalam konsep Merdeka Belajar, asas kosentris warisan Kihajar dewantara dibangkitkan kembali "ruh"nya-yaitu Pendidik yang menuntun  murid dengan berdasarkan kepribadian, karakter dan budaya kita sendiri sebagai pusatnya. Selain itu, Beliau juga berpesan ,pendidikan yang memerdekakan muridlah yang menjadi pegangan para pendidik. "Manusia" merdeka perlu memilki modal ketrampilan berfikir atau bernalar yang baik. 

Dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki murid yaitu kecerdasan rasa, karsa,cipta dan karya, maka  murid akan " menjadi manusia seutuhnya.' Manusia abad 21 saat ini merupakan generasi homo sapiens pasca Einstein, yang telah memasuki tahap evolusinya sebagai mahluk yang memilki peradaban tinggi dan kemampuan berfikir serba multidimensi. 

Nenek moyang kita, homo erectus- tidak akan pernah menyangka anak cucu mereka bisa akan secanggih seperti generasi kita saat ini. Disatu sisi manusia abad 21 dituntut untuk mampu mengembangkan kemampuan berfikir komputasional. Namun disisi lain harus tetap tidak kehilangan nilai nilai humanismenya. Humanisasi di era digital akan mengarahkan manusia sebagai tuan atas teknologi. 

Pendidikan yang humanistik akan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi, sehingga akhirnya terbentuk manusia yang utuh, yang memilki kematangan emosional,kematangan moral dan kematangan spiritual. Dengan keseimbangan tersebut, "generasi Z" yang akan mengisi peradaban abad 21 tidak hanya memilki kecanggihan komputational  namun juga memliki kecerdasan sosial emosional dan spiritual. Teknologi menjadi sarana untuk membangun peradaban yang mulia, bukan untuk exploitation de l'homme par l'homme atau  mengeksplotasi manusia atas manusia lainnya. Sehingga peradaban yang dibangun homo sapiens melalui proses evolusi yang sangat panjang ini  pada akhirnya memang untuk  meningkatkan martabat dan kedudukan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun