Honor tersebut bisa menjadi lebih rendah lagi manakala jumlah guru honorer di sekolah berjumlah cukup banyak. Sementara regulasi lain tidak memperkenankan honorarium guru diperoleh dari iuran orangtua wali murid.Â
Di pihak lain, skema penanganan guru honorer di negeri ini sepertinya masih semrawut dan tidak komprehensif. Antara regulasi, dan fakta di lapangan, serta kebutuhan guru riil di lapangan tidak saling sinkron dan terkesan saling bersilangan.Â
Ada sekolah yang tujuh puluh lima persen kegiatan pembelajarannya dilaksanakan oleh guru honorer karena guru PNS atau guru bantu tidak ada di sekolah tersebut.Â
Bertahun-tahun guru honorer berjibaku mengabdi di sekolah karena kebutuhan mengharuskan sekolah memanfaatkan guru honorer untuk menutup kebutuhan guru.Â
Tetapi repotnya ketika guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengisi kekosongan guru dan berjasa memberikan pengabdian pendidikan, saat pemerintah meluncurkan kebijakan rekrutmen guru.Â
Lagi-lagi guru honorer ini seperti terbuang hilang ditelan bumi, karena tidak mendapatkan kesempatan dan ruang untuk mewujudkan mimpi indahnya sebagai guru yang derajatnya naik dari guru honorer menjadi guru PNS.
Regulasi tentang rekrutmen guru PNS rupanya tidak sedikit menyenangkan hati para guru honorer. Kecuali hanya memandang dengan pilu bahwa perjuangannya selama ini tidak mendapat peluang yang cukup untuk mendapatkan kesejahteraan yang meningkat.Â
Ketidakpedulian pengambil kebijakan tentang nasib guru honorer inilah yang sampai saat ini menjadi "lembaran pedih" pejuang pahlawan pendidikan bernama guru honorer ini.
Penghargaan guru honorer berikutnya yang bersumber dari bantuan APBD. Lagi-lagi ini juga penghonoran guru tidak tetap ini di masing-masing daerah juga tidak sama.Â
Tetapi meskipun tidak sama, sikap pemerintah daerah dalam memberikan penghargaan terhadap guru honorer ini relatif sama, yakni sama-sama memprihatinkan.Â
Penetapan honor untuk guru dalam beberapa APBD besarannya biasanya lebih rendah dari profesi lain.Â