Pemerintah bermaksud menaikkan standar Upah Minimum Provinsi untuk tahun 2019 sebesar 8,51 persen. Kendati kabar ini barangkali belum lah menggembirakan, akan tetapi setidak-tidaknya pemerintah sudah memikirkan.Â
Namun bagaimana dengan nasib upah si"umar bakri" bernama guru honorer? Sudahkah pemerintah memberikan perhatian kepada upah guru honorer yang bekerja di sekolah-sekolah yang ada di sekitar kita?
Pertanyaan itu menjadi penting karena selama ini belumlah selesai perjuangan para guru honorer itu.Â
Bahkan untuk sekadar berjuang memperoleh upah yang cukup untuk biaya makan dan transportasi saja masih belum semuanya berhasil dan mendapat perhatian.
Bayangkan saja banyak guru honorer yang dibayar dibawah tiga ratus ribu sebulan, itupun kadang diperoleh dari iuran guru-guru PNS lainnya yang berbelas kasihan karena secara regulasi tertentu mereka ini tidak dapat memperoleh honor yang cukup.Â
Perjuangan memanusiakan guru honorer seperti tidak pernah mendapatkan ruang yang cukup sementara upah minimum regional maupun provinsi yang ada hanya mengcover ruang lingkup pekerja non guru.
Guru honorer hanya mengandalkan pada kemurahan hati kebijakan regulasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang berubah-ubah.
Itupun belum pernah memberi rasa tenang para guru honorer karena jatah upah yang dapat dicairkan dari dana BOS tidak lebih baik dari honor dan upah yang selama ini diterima.
Lalu siapakah yang bertanggung jawab untuk mensejahterakan guru honorer? Selama ini guru honorer bila diklasifikasikan mendapatkan gaji ataupun upah bekerja mengandalkan dari dana BOS.
Sementara ketentuan honor yang dapat dicairkan dari dana BOS tidak boleh melebihi dari 20 persen dari total pembiayaan pengelolaan pendidikan yang ada di sekolah.
Banyak guru honorer yang terpaksa hanya diam terpaku cukup menerima honor maksimal tiga ratus ribu rupiah, karena alokasi dan pembatasan honor tidak mengijinkan melebihi dari 20 %.Â