Sebagai guru BK sering saya didatangi wali murid yang mengeluhkan sikap putranya yang tidak mau belajar. Banyak yang menceritakan betapa susahnya jaman sekarang menyuruh anak mau disiplin belajar. Anak sukanya main hp melulu tidak kenal waktu. Sementara buku pelajaran tidak pernah disentuhnya. Akibatnya nilai rapot semuanya jelek. Bahkan terancam tidak naik kelas.Â
Permasalahan siswa tidak mau belajar, sebenarnya merupakan masalah umum yang sering terjadi pada siswa. Mayoritas disebabkan karena motivasi yang lemah untuk belajar. Tidak ada semangat untuk berprestasi.Â
Sementara kadang orang tua menjadi panik, kebingungan bagaimana harus berbuat ketika anak tidak mau belajar.Â
Mengatasi anak yang tidak mau belajar, apa yang harus dilakukan? Pertama kali yang sebaiknya orang tua pahami adalah pandangan yang benar terhadap perbuatan belajar itu sendiri.Â
Persepsi tentang belajar kadang-kadang hanya dipahami sebagai aktivitas membaca buku pelajaran di ruang belajar atau dikamar belajar. Banyak orang tua merasa tenang bila mendapati putranya sudah duduk manis membaca buku pelajaran di ruang belajar. Lalu menjadi gelisah dan mungkin marah bila kedapatan putranya masih bermain, atau menonton tivi, di jam -jam dimana anak mestinya buka buku untuk belajar.Â
Sikap pandang seperti ini tidaklah salah tetapi juga kadang tidak relevan lagi bila dicocokan dengan situasi dan kondisi yang sudah jauh berkembang seperti sekarang ini.Â
Sementara perbuatan belajar seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan media, sudah menggeser bentuk belajar dari pola membaca buku (belajar berbasis bacaan kertas) ke belajar dengan pola yang lebih inovatip misalnya belajar berbasis blog, website, atau mungkin saja putra kita belajar dengan memanfaatkan jejaring internet dan media sosial yang sudah cukup familiar ditangan anak - anak.Â
Bisa saja anak tidak mau belajar dikarenakan pola belajar gaya lama yang harus ia lakukan memang sudah tidak "up to date". Membosankan, menjenuhkan, dan bikin pusing kepala. Wajar saja bila anak kadang ngambek dan malas belajar karena gaya belajar yang harus ia lakukan memang sudah tidak jaman lagi. Â
Pada fase inilah orang tua sebaiknya memahami benar, bahwa gaya belajar jaman milenia seperti saat ini sudah tidak lagi seperti jaman puluhan tahun silam.Â
Memotivasi anak belajar lalu membutuhkan fasilitasi model dan gaya yang bisa " cair" dan nyaman dilakukan oleh anak kita. Mendorong anak kita belajar dengan berkreasi membuat blog, belajar membuat aneka soal dan jawaban yang kemudian dibuat blog yang keren, bisa saja membuat perbuatan belajar lebih menantang untuk anak-anak kita.
Dorong anak - anak meluaskan wawasan melalui dunianya. Bila mana perlu tidak perlu terlalu ketat melarang anak untuk bermain hp. Tetapi dorong anak memanfaatkan hp untuk eksplorasi ilmu pengetahuan, dan sebagai ajang mengaktualisasikan potensi yang dimiliki.Â
Kedua, esensi belajar adalah proses berlatih untuk menuju capaian kompetensi tertentu. Orang tua sebaiknya tahu juga kompetensi apa yang harus dicapai anak di sekolah. Dengan demikian orang tua dapat secara cermat dan akurat memfasilitasi secara kreatif agar anak dengan penuh semangat mau terus berlatih mencapai target kompetensi yang menjadi tanggung jawabnya.
Ketidaktahuan orang tua terhadap kompetensi yang harus dicapai anak tentunya kurang maksimal dalam memberikan suport baik psikis maupun fisik, moril materiil kepada anak.Â
Orang tua dapat menjalin komunikasi intensif dengan sekolah untuk mengakses beberapa informasi yang diperlukan dalam rangka membantu anak.Â
Pemberian reward terhadap anak untuk memancing motivasi belajar anak agar tumbuh dan terbangun semangat belajarnya, tentu sangat dibutuhkan siswa.Â
Bisa jadi inilah yang dibutuhkan anak saat anak tidak mau belajar. Anak membutuhkan hadiah untuk memacu semangat belajarnya. Hanya saja pilihan reward yang tepat sasaran, kreatif, dan menantang menjadi penting karena pemberian reward yang tidak tepat, akan menciptakan ketergantungan yang kurang positip bagi perkembangan anak itu sendiri.
Reward atau hadiah yang diberikan pada hakekatnya tiadk selalu berbentuk materi. Kasih sayang, sikap empati, penghargaan, dan ucapan terima kasih yang intens dan tulus kepada anak, dapat menjadi pendorong yang ampuh untuk menciptakan semangat belajar pada anak. Sebaliknya pemberian reward seperti apapun tidak akan berarti banyak mana kala empati dan kasih sayang orang tua justru kurang dirasakan oleh anak pada saat belajar.Â
Perhaiian yang intens, keterlibatan emosional yang mendalam pada anak saat sedang belajar, menjadi bagian penting yang mampu mendorong semangat belajarnya menjadi bangkit. Sebaliknya sikap masa bodoh, acuh tak acuh, dan kurang memperhatikan, dapat menjadi pemicu tumbuhnya kejenuhan dan kebosanan yang membuat anak menjadi tidak mau lagi belajar.Â
Ketiga, pengawasan anak dalam belajar, sejauh mungkin tidak menjadi beban dan menciptakan suasana yang kurang nyaman. Hindarkan pemberian target-target yang bersifat mendikte, menggurui, dan terlalu masuk pada dunia anak, karena tanpa diberikan target-targetpun anak akan muncul dengan sendirinya asalkan orang tua mengetahui bagaimana cara memberikan motivasi..Â
Memberi target dengan semena-mena, pokoknya harus memiliki rangking tertentu, masuk sepuluh besar, harus juara, harus mempunyai nilai seratus, adalah kata-kata yang dapat membuat anak kita tidak bisa belajar dengan baik, tetapi justru dapat menimbulkan stress baru. Menciptakan tantangan yang kreatif dan inovatip untuk mendorong anak belajar sesungguhnya lebih berarti ketimbang memberikan target-target verbal yang membingungkan anak.
Tidak perlu terlalu antipati bila anak suka bermain hp. Dorong saja anak untuk memanfaatkan teknologi internet dengan membuat blog belajar yang dibuat oleh anak, diisi oleh anak. Biarkan anak berselancar dengan dunia media sosial, untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan. Tentu dengan kontrol yang tidak menekan, tetapi mengawasi dengan kasih sayang.Â
Dorong anak untuk menggunakan jejaring internet untuk menguasai komptensi pembelajaran yang menjadi kewajibannya. Terlalu tergoda untuk memberikan nasehat-nasehat verbal, kadang tidak terlalu bermanfaa. Karena jangan kita anggap anak belum tahu. Sebab kadang mereka lebih tahu dari pada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H