Aku adalah andre laki-laki yang di hidup di perantauan sebatang kara di jakarta. Sudah 14 tahun saya merantau dan tidak pernah pulang ke kampung halaman, dan selama 14 tahun tidak pernah komunikasi sama keluaraga bahkan saya tidak tahu keadaan keluarga saya. Kenapa saya tidak pernah berkomunikasi sama orang tua atau keluarga saya? Karna saya tidak punya alat komunikasi apapun untuk menghubungi mereka. Saya hidup sebatang kara yang lontang-lantung tampa tujuan.
Selama saya merantau saya selalu mehindar dari orang yang mengenal saya, dan itu adalah salah satu penyesalan saya. Pada saat itu saya tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang mengenal saya, dan sebelum berangakat merantau saya sudah menanamkan pada diri saya " saya ingin pergi dari kampung ini dan menghilang dan kembali dengan kesuksesan" dan saat bertemu dengan orang kampung yang juga merantau di kota ini saya akan menyapa dia dan mengobrol seperti pada umumnya, dan keesokan harinya saya akan mengehilang dari dia dan tidak berkerja lagi di lingkungan itu. Kenapa kamu seperti itu? Alasanya karena saya belum berhasil mendapatkan kerjaan yang layak dan itu alasannya tidak mau bertemu dengan orang yang menggenal saya.
Setiap hari yang saya lalui begitu berat, tapi saya selalu menikmati proses ini, selalu berdoa untuk orang tua saya walaupun rindu menyelimuti tubuh ini setiap harinya. Sudah beberapa tahun berlalu, akhirnya saya dapat menghubungi keluarga saya, pada saat itu saya dikasih rezeki dan menyisihkan untuk membeli ponsel, saya berbicara sama ibu saya walaupun jaringan terputus-putus saya begitu senang bisa mendengar suara ibu saya pada pesan suara yang terdengar di ponsel itu ibu berbicara:
ibu : " haloo ini kamu nak? Sambil terpatah-patah
andre :"iyaa buu ini aku andre" yang berusaha tegar
ibu: sambil berlinang air mata "bagaimana nakk sehat kamu disanaa"
andre: Alhamdulillah sehat buu, ibu juga sehatkan"
ibu : Alhamdulillah ibu sehat, kampan kamu pulang nak"
andre : "nanti buu saya pulang" dan pensan itu tiba-tiba terputuss
Setelah panggilan terputus ibupun berusaha menelfon kembali saat saya mengangkatnya setiap kata yang ibu ucapkan terputus-putus dan ternyata ponselnya rusak sayapun tersadar kalau kemarin ponselnya masuk kedalam bak air dan juga jaringan ibu sepertinya sedang tidak bagus. Hari-hari berlalu saya menjual ponsel saya karena masalah keuangan saya yang menipis karena saya berhenti di tempat kerja saya. Saya tak tau harus nyari kerja kemana lagi dan bahkan saya tak tau harus tinggal dimana. Saya tidak ingin berhenti sebenarnya dari tempat kerja saya yang lama tapi di perhentikan, karena yang punya usaha bangkrut dan semua tenaga kerja di perhentikan.
Setiap hari yang saya jalani begitu berat saya kehilangan arah tampa tujuan dan bahkan saya tak tau harus tinggal dimana besok harus makan apa?. Pada akhirnya saya tidur di masjid, di teras rumah orang-orang. Sudah beberapa tahun tak ada memberikan kabar pada keluarga saya, sayapun tidak tahu harus menghubungi siapa dan dimana saya dapat menghubungi keluarga saya, dan bahkan hp saja saya tidak punya nomor hp keluarga saja saya tidak ingat.
Disatu sisi ibu saya di kampung selalu berdoa untuk kepulangan saya, adik saya sepupu saya berusaha mencari keberadaan saya melalui media sosial untuk menemukan saya namun nyatanya nihil dimana mereka sampai dititik pasrah dan menganggap saya sudah tiada/ meninggal.
Saat itu saya berada di titik tidak tahu lagi harus kerja apa dan akhirnya saya memutuskan untuk memulung sampah, tinggal di kolong jambatan sedangkan di kampung saya tidak pernah melakukan itu, hidup saya di kampung cukup berada dan jauh dari kata tidak berada. Bertahun-tahun hidup di perantauan saya tak pernah terbayang untuk pulang kekampung halaman karena saya malu dan ini keputusan saya untuk merantau namun hati saya tergerak untuk pulang dan saya berfikir untuk mengumpulkan uang.
Dengan berat hati saya pulang kekampung halaman saya yang sudah berpuluh-puluh takun tak pulang, tak memberi kabar. Sesampainya di kampung yang saya tujuh banyak sekali perubahan di kampung itu yang tentunya kampung itu sudah sangat maju dan bahkan saya tak mengenali rumah saya yang mana saya binggung dan bahkan tersesat. Akhirnya saya menemukan warung dan saya bertanya " kak permisi rumahnya ibu rini dimana yaa?" ohh ibu rini rumah ibu rini yang didepan mass, emng mas ada keperluan apa? kata yang punya warung " nanya aja kak" dan orang yang punya warugpun bilang " kok aku kek kenal la sama mu, abg andre yaa? Aku jawab " iyaa kak" dan orang yang punya warung itu ternyata masih saudara saya dan dia nangis dan peluk saya dan menarik tangan saya untuk kerumah ibu saya yang ternyata berada di depan warung itu.
Sampainya dirumah saya melihat ibu saya yang ternya tinggal sendirian di rumah itu, ibupun menangis dipelukan ku, saudarapun semua datang kerumah bahkan rumah itu sampai penuh, ponakan yang dulunya masih kecil sekarang sudah tumbuh dewasa ternyata sudah lama ya gumam ku dalam hati. Dalam suasana haru alangkah kagetnya saya ketika tante saya sambil menangis memberitahu saya yang bahkan baru saja saya ingin bertanya hal itu tante saya berkata " nakk ayah mu dan adik mu sudah tidak ada lagi di dunia ini" aku tak bisa berkata sepatah apapun aku ingin menangis tapi tak bisa mengeluarkan setitikpun dari mata ku, aku diam membeku tanpa suara ibu menangis. Dan selama ayah meninggal ibu tinggal sendirian dirumah ini tanpa teman cerita, aku pikir aku yang paling menyedihkan ternyata ibu lebih menyedihkan tinggal sendirian di dalam rumah yang cukup luas ini dan di selimuti oleh sepi.
Dan aku bertanya lagi mana tante dan paman, paman dan tante itu adalah adik ibu yang dari kecil sangat dekat dengan ku, lalu ibu berkata orang itu sudah tidak ada juga. Tak ada satu katapun keluar dari mulut ku, ternyata sudah sebanyak itu yang meninggalkan ku. Aku sangat menyesal baru pulang sekarang kenapa tidak dari dulu saya pulang dan kenapa aku selalu menghindar dari orang-orang yang aku kenal dulu, kalau aku tidak menghidar aku bakal tau kondisi keluargaku dan aku akan pulang walaupun hanya untuk menguburkan ayah dan adik ku. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri pada saat itu.
Dan sudah hampir 2 tahun aku tingga bersama ibu di kampung, kami hanya tinggal berdua saja di rumah ini. Setiap hari aku di hantui rasa bersalah dan penyesalan, tapi aku menyimpannya sendiri, merenuginya sendirian. Selama di kampung saya menutup diri kepada orang-orang tidak tahu kenapa saya sangat takut ketemu orang, tapi perlahan demi perlahan saya berusaha terbuka dan mencoba bersosialisasi lagi walaupun rasanya sangat berat. Dan selama itu saya selalu berfikir untuk kembali lagi kerantauan tidak tahu kenapa saya ingin kembali lagi kesana, tapi tidak ada yang mendukung saya untuk kembali lagi kesana.
Saya sering sekali mengatakannya hal itu kepada ibu namun ibu hanya diam saya dan tidak mengatakan satu katapun. Beberapa bulan berlalu saya mangatakan hal itu lagi, lalu ibu berbicara dengan nada tinggi "ngapain lagi kamu balik kesana, kalaupun kamu balik kesana kamu mau kerja apa? disana pun kamu lontang-lantungkan? Mending kamu disini saja sama ibu, temenin ibu! umur ibu juga sepertinya tidak lama lagi". Mendengar hal itu aku langsung terdiam dan beranjak pergi dari hadapan ibu. Lalu aku berfikir yang dikata ibu itu benar. Dari situ aku tak pernah lagi mengatakan (mau merantau) lagi kepada ibu. Sekarang saya menghabisi waktu bersama ibu yang sudah lama saya rindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H