Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Grasi Ditolak, Presiden Sukarno Setujui Hukuman Mati Sahabatnya

14 Februari 2023   01:21 Diperbarui: 14 Februari 2023   01:48 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keadaan sewaktu daerah Cikini diadakan razia setelah terjadinya peristiwa Cikini Sumber: ANRI Kempen JKT58 - 580428 FG 1-6

Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah mendjadi nasibku jang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnja. Dua sifat jang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa tjerewet. Aku bisa keras laksana badja dan aku bisa lembut berirama...

Aku mendjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor njamuk.

Kalimat di atas merupakan gambaran terhadap pribadi Presiden Sukarno. Ia mengaku seorang yang keras di satu sisi tapi juga seorang yang lembut di sisi lain. Gambaran kerasnya seorang Presiden Sukarno adalah ketika menolak permohonan grasi atas hukuman mati sahabat lamanya.

Ya! Pada 1962, Presiden Sukarno menandatangi surat keputusan hukuman mati terhadap pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang melakukan pemberontakan terhadap RI.

Bersahabat di Surabaya

Sukarno dan Kartosoewirjo merupakan sahabat yang pernah sama-sama menimba ilmu kepada HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Jawa Timur.

"Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam," kata Sukarno dalam buku 'Presiden Sukarno Penyambung Lidah Rakyat' Karya Cindy Adams.

Sama seperti Sukarno, Kartosoewirjo juga dekat dengan Tjokroaminoto pemimpin Sarekat Islam (SI), ia bahkan dijadikan sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan kerap ikut berkeliling Pulau Jawa. Kegiatan dengan Tjokroaminoto ini diduga mempertemukan Kartosoewirjo dengan Sukarno.

Memberontak

Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya. Dari berbagai sumber, alasan Kartosoewirjo mendirikan NII karena kecewa atas penandatanganan Perjanjian Renville. Akibat perjanjian tersebut, wilayah RI menjadi berkurang dan konsekuensinya adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus hijrah dari wilayah Jawa Barat ke Jawa Tengah.

Kartosoewirjo menolak untuk hijrah, karena dianggap sebagai pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat. Ia kemudian mendirikan NII yang disebut dengan Darul Islam (DI). Selanjutnya Kartosoewirjo bersama pengikutnya yang terdiri laskar Hizbullah dan Sabilillah membentuk angkatan bersenjata Tentara Islam Indonesia (TII). Pada perkembangannya pengaruh DI/TII ini meluas tidak hanya di Jawa Barat tetapi juga di wilayah lain seperti Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.

Upaya Pembunuhan Presiden

Selama melakukan pemberontakan, Kartosoewirjo bersama para pengikutnya dianggap telah berulangkali melancarkan usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Upaya ini digerakan oleh fatwa radikal Kartosoewirjo yang dikeluarkan pada 1950.

"Bunuh Sukarno! Dialah penghalang pembentukan Negara Islam. Sukarno mengatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini, kita harus membunuh Sukarno."

Maulwi Saelan dalam buku Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66 menjelaskan bahwa dengan fatwa tersebut, Presiden Sukarno menyebut Kartosoewirjo telah meludahkan api. "Para pengikutnya sangat bersemangat melaksanakan fatwa ini," tulisnya.

Beberapa upaya pembunuhan kepada Presiden Sukarno antara lain Peristiwa Cikini 1957 dan Peristiwa Idul Adha 1962.  Peristiwa Cikini terjadi pada 30 November 1957. Ketika itu, Presiden Sukarno menghadiri acara Malam Dana di Perguruan Cikini Jakarta. Tepat pukul 20.55 WIB, saat Presiden Sukarno meninggalkan lokasi dengan menuruni tangga gedung untuk menuju mobil, malapetaka terjadi. Presiden Sukarno dihujani granat. Dalam insiden itu sejumlah orang meninggal dunia dan 48 anak-anak dilarikan ke rumah sakit. Dalam waktu 24 jam, sebanyak 14 orang komplotan pelempar granat berhasil diringkus. "Itulah pekerjaan orang-orang fanatik agama pengikut Kartosoewirjo," kata Presiden Sukarno.

Keadaan sewaktu daerah Cikini diadakan razia setelah terjadinya peristiwa Cikini Sumber: ANRI Kempen JKT58 - 580428 FG 1-6
Keadaan sewaktu daerah Cikini diadakan razia setelah terjadinya peristiwa Cikini Sumber: ANRI Kempen JKT58 - 580428 FG 1-6

Upaya membunuh Presiden Sukarno kembali terulang pada tahun 1962. Peristiwa terjadi saat Presiden Sukarno tengah menunaikan salat Idul Adha di lapangan antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Dari jarak 4 shaf di belakang, tiba-tiba meletus tembakan pistol berulangkali yang tertuju pada Presiden Sukarno. Peluru tak berhasil mengenai Presiden Sukarno, tapi menyerempet bahu Ketua DPR Zainul Arifin yang saat itu bertindak sebagai imam salat Ied. Penembak berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. 

Penangkapan dan Pengadilan

Untuk menumpas gerakan sahabatnya itu, Presiden Sukarno mengirimkan TNI dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain. TNI kemudian melakukan Operasi Militer dengan nama Operasi Pagar Betis untuk menangkap Kartosoewirjo. Akhirnya setelah dilakukan operasi militer yang cukup lama, Kartosoewirjo berhasil ditangkap di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962. 

Kartosoewirjo kemudian menjalani persidangan pada 14-16 Agustus 1962. Ia didakwa melanggar pasal-pasal berlapis yaitu pasal 107 ayat 2, 108 ayat 2, dan 104 juncto pasal 55 KUHP, juncto pasal 2 PENPRES No. 5 tahun 1959 yang dimuat dalam lembaran negara No 80 tahun 1959. Menurut Fadli Zon dalam bukunya Hari terakhir Kartosoewiryo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII, setidaknya ada tiga kejahatan politik yang disangkakan pemerintah pada Kartosoewirjo.

  • Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak merobohkan pemerintahan yang sah.
  • Kedua, memimpin dan mengatur pemberontakan melawan kekuasan yang telah berdiri dengan sah yaitu Republik Indonesia.
  • Ketiga, melakukan makar usaha pembunuhan terhadap presiden yang dilakukan secara berturut-turut dan terakhir dalam peristiwa 'Idul Adha'.

Pada 16 Agustus 1962, pengadilan militer menjatuhkan vonis mati bagi Kartosoewirjo. Dalam proses pengadilan itu, dia juga membantah tuduhan kedua dan ketiga. Kartosoewirjo mengatakan bahwa tuduhan upaya membunuh Presiden Sukarno hanya isapan jempol belaka.

Upaya Grasi

Kartosoewirjo sempat meminta grasi kepada Presiden Sukarno, namun ditolak. Hal ini berbeda dengan sikap Presiden Sukarno yang pernah membatalkan hukuman mati Maukar. Daniel Alexander Maukar seorang pilot Angkatan Udara RI (AURI) dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Angkatan Udara pada 16 Juli 1960. Ia terlibat usaha pembunuhan presiden dengan menembaki Istana Negara menggunakan pesawat Mig-17. Tindakan ini merupakan bagian dari pemberontakan PRRI/Permesta.

Namun kebijakan tersebut tidak berlaku bagi Kartosoewirjo. Peristiwa pelemparan granat di Cikini, telah menggores rasa kemanusiaan Presiden Sukarno. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan bagaimana anak-anak dan perempuan yang tidak berdosa, ikut menjadi korban.

"Kutundukkan kepala mengenang korban-korban yang tidak berdosa dikuburkan ke dalam tanah. Aku mengingat sembilan orang anak dan seorang perempuan hamil yang kulihat sendiri jatuh tersungkur tidak bernyawa di dekatku. Karena seorang fanatik hendak membunuhku, mereka harus memberikan nyawanya. Dan karena itu pula aku membubuhkan tanda tangan menghukum Kartosoewirjo," kata Presiden Sukarno yang tercatat dalam otobiografinya.

Eksekusi Hukuman Mati

Setelah diberi kesempatan bertemu dengan keluarganya, termasuk berfoto bersama, Kartosoewirjo akhirnya menjalani eksekusi hukuman mati dengan cara ditembak. Ia dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 5 September 1962. Rangkaian perjalanan Kartosoewirjo mulai makan terakhir, perjalanannya ke pulau, penembakan oleh tentara, hingga dimakamkan dapat dilihat melalui buku Hari terakhir Kartosoewiryo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII, karya Fadli Zon.

Kartosoewirjo menuju tiang penembakan Sumber: Fadli Zon
Kartosoewirjo menuju tiang penembakan Sumber: Fadli Zon

Tentu kita dapat membayangkan bagaimana perasaan dari Presiden Sukarno ketika harus menandatangi surat keputusan hukuman mati sahabat lamanya sendiri. Menurut beberapa cerita, Presiden Sukarno sempat menangis ketika membubuhkan tanda tangan. Bahkan, eksekusi itu sempat tertunda selama tiga bulan karena ia merasa berat untuk menandatangani surat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun