"Selanjutnya di hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertianku yang baru.. Petani-petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah korban dari sistem feodal, dimana pada mulanya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama, dan seterusnya sampai ke anak-cucunya selama berabad-abad"
"Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang yang bekerja untuk dia. Marhanesiame adalah Sosialisme Indonesia dalam praktek."
"Marhaenisma adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional kami"
Pertemuan Sukarno dengan Marhaen itu tergambar dalam Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966).
kebutuhan di Pembuangan
Sepeda juga menjadi kebutuhan Sukarno ketika masa pembuangan seperti di Ende dan Bengkulu. Sukarno diasingkan ke Ende pada tahun 1934, di sana ia dibatasi ruang geraknya. Sukarno dibolehkan pergi ke tepi pantai untuk melihat para nelayan namun dilarang untuk berbicara kepada mereka. Kecintaanya dengan sepeda, membuat Sukarno tahu betul merek dari sepeda para polisi di kota Ende.
"Di kota ini ada delapan orang polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Disamping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek Hima."
"Aku teringat disuatu sore ketika seorang preman membuntutiku di jalan-jalan yang juga dijalani oleh angsa, kambing, kerbau, dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah-rumah panggung dan menuju ke sungai...."
Ketika dipindahkan dari Ende ke Bengkulu pada 1938 terdapat cerita yang menarik tentang kecintaannya Sukarno pada sepeda. Dalam buku Pasang Surut Pengusaha Pejuang (1987:189), Hashim Ning bin Ismail Ning datang menemui Sukarno atas ajakan Raden Mas Rasjid. Ayah Ning diminta oleh Hatta (yang juga dalam pembuangan pada waktu itu) untuk membantu Sukarno. Selain mendengarkan Sukarno bicara soal Indonesia, Hashim Ning dalam pertemuan itu bertanya tentang apa kebutuhan Sukarno. Sukarno berpikir agak lama dan akhirnya menjawab "Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi Helm berwarna gading tua, bukan cokelat". Hashim Ning mengatakan dia akan menelepon ayahnya soal itu. Bahkan Sukarno memberi penjelasan soal sepeda yang diinginkannya. "Sepeda merek Fongers" kata Sukarno. Kebutuhan itu kemudian dikirim oleh Ismail Ning lewat Kantor Verhauisboedel yang mengurus jasa pindahan.
Dengan sepeda Fongers itu, Sukarno berkeliling kota dengan Inggit yang setia menemani dalam perjuangan. Selain itu Sukarno juga bersepeda berkeliling kota Bengkulu Bersama pengusaha Muhammadiyah Haji Hasan Din. Di Bengkulu, Sukarno mulai mengenal putri dari Haji Hasan Din bernama Fatimah yang kemudian kita kenal dengan Fatmawati. Bersepeda bersama menjadi romantika sendiri bagi Fatmawati. "Waktu kami Bersama berada di Bengkulu sering kami berlomba naik sepeda." kenang Fatmawati dalam Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016)