Memasuki Januari 1961 banjir dan longsor melanda beberapa wilayah di pulau Jawa seperti di Jawa Barat tepatnya di Sumedang dan di Jawa tengah tepatnya di Kebumen. Pulau Kalimantan juga tidak luput dari bencana banjir yaitu tepatnya di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Samarinda (Antara, Januari 1961). Bencana banjir ini tentu saja menyebabkan banyak korban jiwa dan berbagai kerusakan termasuk lahan pertanian sebagai tempat mata pencaharian sebagaian besar penduduk di wilayah tersebut.
Beberapa peristiwa tersebut membuat pemerintah pusat membentuk sebuah lembaga tetap untuk mengatasi persoalan yang diakibatkan dari bencana alam, karena sebelumnya Panitia Adhoc Kebinet Kerja Urusan Bencana Alam bersifat sementara. Presiden Sukarno melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 54 Tahun 1961 tanggal 8 Februari 1961 membentuk Panitia Penampungan Bencana Alam (ANRI, Daftar Arsip Setneg RI: Seri Produk Hukum 1959-2005, No. 6614). Melalui Keppres ini pula bencana angin topan di Saumlaki, Maluku dan bencana banjir disertai tanah longsor di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara ditetapkan sebagai bencana alam luar biasa/nasional.
Tugas Panitia Penampungan Bencana Alam
Panitia Penampungan Bencana Alam mempunyai tugas utama yaitu melakukan koordinasi berbagai departemen/jawatan baik di pusat maupun di daerah. Panitia ini diketuai oleh Menteri Pertama/Wakil Menteri Pertama, dengan anggota terdiri dari Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kesejahteraan Sosial, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Menteri/Deputi Menteri Keamanan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat (Petera), dan Sekretaris Jenderal Front Nasional.
Tentunya pemilihan anggota-anggota tersebut dilatarbelakangai oleh tugas dan fungsi masing-masing menteri yang berperan dalam penanggulangan bencana alam. Setidaknya ada tiga koordinasi yang dilakukan oleh Panitia Penampungan Bencana Alam, yaitu terkait anggaran, penerimaan dan penyaluran bantuan serta rehabilitasi.
Koordinasi pertama terkait dengan alokasi anggaran. Di dalam anggota Panitia Penampungan Bencana Alam terdapat Menteri Keuangan yang mempunyai tugas untuk menyiapkan anggaran tambahan yang dipergunakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak dan juga untuk merehabilitasi kerusakan-kerusakan di daerah yang dilanda bencana nasional. Hal ini dilakukan karena anggaran terkait penanggulangan bencana sudah melebihi dari belanja rutin dari beberapa departemen termasuk anggaran di daerah.
Koordinasi kedua terkait dengan penerimaan dan penyaluran bantuan baik dari dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri sendiri berbagai macam lapisan masyarakat memberikan sumbangan baik atas nama pribadi maupun organisasi. Sementara dari luar negeri, bantuan biasanya berasal dari warga negara Indonesia yang sedang berada di negara lain, sumbangan dari duta besar ataupun kepala negara-negara asing. Bantuan-bantuan ini kemudian disalurkan ke berbagai pihak seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Angkatan Perang RI (APRI) dan kepala daerah dengan berkoordinasi bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Kesejahteraan Sosial, dan Menteri Kesehatan.
Koordinasi ketiga terkait dengan usaha rehabilitasi berbagai kerusakan akibat bencana alam. Usaha rehabilitasi ini terutama dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Menteri Pertanian, Menteri Petera dan Front Nasional. Pada perkembangannya rehabilitasi juga melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Transmigrasi dan Koperasi. Usaha rehabilitasi juga berkoordinasi dengan kepala daerah yang mengetahui secara pasti kondisi di lapangan pasca bencana.
Panitia Penampungan Bencana Alam berperan penting dalam penanggulangan bencana alam pada periode 1961-1966, seperti banjir di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, letusan Gunung Agung (1963), banjir di Jawa Tengah, tanah longsor di Jawa Barat, dan Letusan Gunung Kelud (1966).