Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Allahu Akbar... Allahu Akbar...

26 April 2010   05:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:35 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

***

Pun ketika sore, senja, bahkan malam hari. Untuk mengingatkan kita, bahwa sebelum dan setelah ke'tidaksadar'an kita ketika tidur, maupun kala ditengah kesibukan aktivitas,  kita diwajibkan untuk selalu mengingat-Nya, seruan indah itu selalu dikumandangkan. Seruan yang diawali dan diakhiri pula dengan kalimat Takbir.

***

[caption id="attachment_126972" align="alignright" width="144" caption="sumber gambar : alwies.wordpress.com"][/caption] Ketika kita telah bersuci serta menjaga kesucian pakaian dan tempat. Ketika kita telah berdiri dengan tuma'ninah, dan niat telah terikrar di kalbu. Kita tundukkan pandangan tanda kekhusu'an penuh di hadapan Sang Khaliq. Kemudian mengangkat tangan, dan melafalkan.... "Allahu Akbar...."

"(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya," [Al Mu'minuun : 2]

***

"Alhamdulillah... Besok puasa terakhir ya bi?" "Iya... Tapi hamdalah kamu itu dalam rangka apa? Bersyukurlah hanya jika kamu dalam ramadhan ini, telah dapat menahan hawa nafsu sepenuhnya, bukan hanya cuma nahan lapar dan haus. Jangan bersyukur karena kamu seolah bisa bebas melakukan apa saja, seperti hari-hari biasa.. Karena semua amalan ramadhan, tanpa mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari setelahnya, ibarat sia-sia belaka. Lagipula, seorang muslim, akan selalu rindu dan mengharapkan datangnya ramadhan lagi. Paham kamu?" "Paham bi! Setelah ramadhan, bisa bebas makan di siang hari lagi kan?" "Ah! Kamu dinasihatin abi bercanda terus..." "hehehe..." "Dasar anak-anak... Kamu bisa dengan santainya mengguraukan makanan yang sehari-hari kamu tak pernah risau, dan bisa hampir dipastikan, bahwa setiap hari kamu selalu akan mendapatkannya di meja makanmu. Tapi tahukah kamu nak? Berapa banyak anak-anak seusia kamu tak seberuntung kamu?" "Maksud abi?" "Bersyukurlah nak..." "Ah! Abi mah cuma muter-muter, ujung-ujungnya kan alhamdulillah..." "Tapi alhamdulillahnya beda! Sini kamu! Dibilangin orang tua bercanda terus!" "Ampun abi! Ahahahaha! Geli!"

***

Senja keesokan harinya, kalimat takbir bertalu-talu dimana-mana. Seolah mengiyakan semua yang dikatakan bapak tadi. Bapak yang menghabiskan malam takbir bersama keluarganya, di rumahnya, jauh di sudut kota.  Jauh dari euforia ‘kemenangan' yang diselebrasikan ‘segelintir' orang dengan ‘kampanye' dan hura-hura tanpa makna. Tanpa mengerti hakikat ‘kemenangan' mereka yang sebenarnya...

***

[caption id="attachment_126974" align="alignright" width="126" caption="sumber gambar : zazzle.com"][/caption] "Allahuakbar... Laailaahaillallahu wallahu akbar... Allahuakbar... Walillaahilhamdu.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun