Mohon tunggu...
Aan Widhi Atma
Aan Widhi Atma Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kultur Pesimis di tengah Komitmen Reklamasi

1 Maret 2016   16:37 Diperbarui: 1 Maret 2016   16:58 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak bisa dipungkiri bahwa aktivitas pertambangan mampu memberikan manfaat ekonomi secara langsung terhadap masyarakat. Tetapi disisi lain juga berpotensi menyebabkan gangguan lingkungan, termasuk fungsi lahan dan hutan. Tekanan yang besar terhadap isu lingkungan yang diakibatkan oleh perilaku beberapa pelaku usaha pertambangan, memang harus dikoreksi. Terkadang ketidaktahuan masyarakat kerap kali memunculkan persepsi keliru terhadap industri pertambangan secara keseluruhan. Padahal, salah satu tujuan kegiatan pertambangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Muhiddin, 2015).

Meragukan Komitmen Reklamasi

Di akhir dekade 80-an mulai bermunculan studi-studi empiris yang menunjukkan, bahwa sumber daya alam yang seharusnya menjadi berkah bagi negara/daerah pemiliknya, justru dapat melemahkan perekonomian. Hubungan negatif antara kelimpahan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonomi tersebut lebih dikenal dengan istilah ‘kutukan sumber daya alam’ (natural resource curse).

Kata tesis kutukan sumber daya pertama dipakai Richard Auty tahun 1993 untuk menjelaskan bagaimana negara-negara yang sumber daya alamnya berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang sumber daya alamnya sedikit. Beberapa penelitian, termasuk oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner, telah memperlihatkan hubungan antara keberlimpahan sumber daya alam dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Masih segar dalam ingatan penulis ketika Bupati KSB, Zulkifli Muhadli (periode 2010-2015), sempat meneteskan air mata disela pidatonya tatkala menceritakan pengalamannya melihat dari jarak dekat pit atau lubang tambang Batu Hijau yang berbentuk lingkaran seperti kerucut-terbalik dengan kedalaman sekitar 200-400 meter. Beliau pesimis, mampukah komitmen reklamasi yang dilakukan oleh PT. NNT mengembalikan fungsi hutan seperti sedia kala? Sebandingkah apa yang dikeruk dari perut bumi KSB dengan dampak lingkungan pasca operasi tambang nanti? Ia merasa yang paling bertanggung jawab jika nantinya hasil reklamasi dan revegetasi tidak berdampak positif bagi masyarakat Sumbawa Barat.

Tak pelak, rasa pesimis itu pun menghampiri diri penulis ketika mengetahui bahwa dinding pit tidak perlu direklamasi karena lubang tambang akan terisi air secara bertahap (www.ptnnt.co.id). Sementara hasil penelitian Pusat Studi Reklamasi Tambang Institut Pertanian Bogor menemukan bahwa setelah tambang ditutup banyak bekas dinding-dinding pit yang sangat curam dan tinggi dibiarkan tetap terbuka, lubang-lubang pit berisi air yang belum jelas peruntukkannya, air asam tambang yang tidak diolah mengalir kemana-mana, dll. Beberapa lokasi tambang juga mengalami kesulitan untuk memperoleh tanah pucuk yang memadai dan mencukupi.

Di beberapa negara ‘warisan’ tambang berupa dinding-dinding pit terbukti gagal dari upaya reklamasi. Ambil contoh tambang Bingham Canyon di Amerika Serikat. Berlokasi di dekat Salt Lake City, Utah, tambang tembaga yang mulai beroperasi pada tahun 1906 ini telah menjadi lubang terbesar di muka bumi yang diciptakan oleh manusia, yaitu dengan lebar sekitar 4.5 km dan kedalaman 1.5 km. Tambang Bingham Canyon pernah mengalami longsor besar pada April 2013 yang merusak 14 haul truck dan 3 shovel truck, namun tidak ada korban jiwa karena longsor tersebut bisa terdeteksi sebelumnya oleh teknologi yang dipakai sehingga evakuasi telah dilaksanakan sebelum terjadinya bencana.

Tidak hanya itu, di Siberia, Rusia, Tambang Mirny (disebut juga Mir) memberikan ‘warisan’ lubang terbesar kedua di dunia setelah Bingham Canyon. Lubang yang diwariskan oleh Mir memiliki lebar 1,2 km dan kedalaman 525 meter. Penggalian pit  dimulai pada tahun 1955 oleh pemerintah Uni Soviet. Setelah runtuhnya era Uni Soviet di tahun 1990-an, tambang Mir sempat berpindah tangan ke beberapa perusahaan lokal sebelum ditutup pada tahun 2004. Area sekitar lubang tambang tidak boleh dilintasi oleh helikopter, mengingat beberapa kecelakaan helikopter yang jatuh akibat tertarik oleh aliran udara di lubang tersebut.

Bukti nyata di atas seakan menambah rasa pesimis kita terhadap komitmen reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Tentunya kita tidak ingin kutukan sumber daya alam yang dikatakan oleh Richard Auty menimpa daerah kita bukan?

Dua Sisi yang Berbeda

Citra kota emas masih melekat di Taliwang. Hal ini semakin diperkuat dengan merebaknya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI). Kalangan awam menyebutnya ‘Bisnis Gelondong’. Gelondong adalah sebutan untuk alat penggiling dan pemecah bebatuan. Sedangkan untuk memisahkan emas dari batuan gunung tersebut digunakanlah air raksa atau merkuri. Entah bagaimana awal mulanya sehingga banyak penambang liar dari luar KSB (Pulau Jawa dan Pulau Lombok) yang tertarik untuk mencari bebatuan dan mengolahnya menjadi emas dengan cara tradisional dan cenderung merusak lingkungan. Menurut informasi dari masyarakat sekitar, para penambang liar memiliki peta lokasi tempat kandungan emas berada lengkap dengan koordinat Global Positioning System (GPS)nya.

Sebelumnya di tahun 2012 Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa Barat telah melakukan uji sampel terhadap sedikitnya 100 penderita yang diduga terkontaminasi langsung bahan berbahaya dan beracun (B3). Uji sampel juga dilakukan terhadap air dari ratusan sumur, fasilitas irigasi dan limbah rumah tangga di Sembilan titik. Pada penelitian tersebut diambil 100 sampel dari warga yang menderita penyakit kulit dan gemetar (tremor) akibat kram, serta gangguan jaringan otak. Jenis penyakit ini paling mungkin terjadi akibat pencemaran limbah B3 (www.kompas.com).

Di tahun yang sama hasil penelitian tim independen Center for Biodiversity Environment Study (CBES) juga menyebutkan bahwa dampak penggunaan merkuri di KSB dinilai sudah berada di atas ambang batas terutama bagi yang bersentuhan langsung dengan aktivitas pengolahan emas tersebut. Penelitian CBES dilakukan dengan mengambil sampel kuku dan rambut dari mereka yang bersentuhan langsung dengan pengolahan emas di berbagai tempat. Sampel juga diambil dari masyarakat dekat dengan aktivitas gelondong atau pengolahan emas. Selain itu pengambilan sampel juga melibatkan wanita dan anak-anak serta masyarakat yang berada jauh dari aktivitas gelondong.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) KSB, sedikitnya di tahun 2014 ada 843 mesin gelondong yang menggunakan Merkuri (www.sumbawabaratnews.com). Sementara dengan jelas bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah melarang penggunaan merkuri dalam aktivitas pengolahan hasil tambang mineral logam emas.

Tidak main-main, limbah B3 dari mesin gelondong ini menyebabkan pencemaran lingkungan, khususnya udara di tengah masyarakat. Kembali, penulis masih merekam Pidato Kyai Zul saat laporan pertanggung jawaban Bupati tahun 2013 (progress report) di halaman Graha Fitrah yang menegaskan bahwa pencemaran udara akibat ‘bisnis gelondong’ itu ikut mencemari dirinya. Hasil Tes Laboratorium dari sebuah Rumah Sakit terkenal menyebutkan bahwa kadar mercuri terdeteksi di tubuhnya.

Sungguh ironis, disaat PT. NNT tengah melakukan upaya reklamasi dan revegatasi pasca tambang dengan Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO 14001, disisi lain aktivitas tambang rakyat tanpa AMDAL terus merajalela di bumi tempat PT. NNT berdiri. Salah satu komponen penting yang menjadi pusat dari penerapan SML adalah kebijakan lingkungan. Kebijakan Lingkungan yang ditandatangani Senior Vice President dan General Manager Operations merupakan komitmen terhadap setiap operasi dan fasilitas tambang Newmont Asia Pasifik (APAC). Kita bisa berbangga dengan itu. Katakanlah PT. NNT berhasil dengan upaya reklamasinya tetapi dampak PETI terhadap lingkungan seakan berjalan tanpa solusi. Lantas apa gunanya keberhasilan di satu sisi tetapi kegagalan diaspek lain yang lebih utama?

Meretas Kultur Pesimis

Jika dicermati kultur pesimis tersebut berawal dari tidak konsistennya komitmen kita untuk melawan aktivitas tambang yang merusak lingkungan. Kita mengabaikan ancaman ini karena terlena dengan tawaran ekonomis sesaat yang jauh lebih terasa mengenyangkan perut. Uang dengan mudah didapat sementara dampak negatif lingkungan perlahan menggerogoti alam kita. Sebagian dari kita masih bersikukuh, tak ada pengaruh merkuri yang dirasakan langsung, toh keluarga kita tetap sehat dan perekonomian pun semakin meningkat. Kita lupa bahwa akumulasi dari perilaku negatif itulah yang akan menjadi boomerang bagi anak cucu kita kelak. Oleh karena itu dibutuhkan skenario solusi yang masif untuk meretasnya.

Langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah terus menyuarakan pentingnya pengelolaan tambang yang ramah lingkungan. Ya, teruslah bersuara agar lingkungan kita tersadarkan bahwa di luar sana ada oknum-oknum yang sengaja telah merusak lingkungan tempat tinggal kita.

Penulis juga menaruh apresiasi terhadap kegiatan ‘NewmontBootcamp, Mengenal Dunia Tambang di Lokasinya’ yang  diadakan setiap tahunnya. Sustainable Mining Bootcamp merupakan program edukasi bagi masyarakat umum untuk melihat langsung proses penambangan dan aktivitas masyarakat di sekitar area tambang Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Melalui program yang disampaikan secara transparan ini, peserta akan mengikuti dengan lengkap praktek-praktek penambangan terbaik dan bertanggung jawab yang dilakukan sejak batuan ditambang, diproses, pemantauan terhadap lingkungan, hingga persiapan penutupan tambang. Peserta juga akan tinggal dan merasakan langsung kehidupan masyarakat di desa-desa sekitar area tambang, serta mengunjungi daerah-daerah wisata di Kabupaten Sumbawa Barat

Dengan menceritakan kepada dunia melalui tulisan-tulisan generasi muda di media sosial agar mengenal kegiatan reklamasi tambang secara langsung merupakan salah satu skenario solusi jangka panjang untuk meretas kultur pesimis tadi. Upaya ini tidak boleh berhenti. Jangan biarkan kultur pesimis itu mengikat generasi masa depan Indonesia dan menguburkan komitmen reklamasi yang telah diikrarkan.

 

Daftar Pustaka

Auty, Richard M. (1993). Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis. London: Routledge.

Daniel Mashudi (2015). Warisan Tambang, Bagaimana Seharusnya? http://www.kompasiana.com

Eddy Karna Sinoel (2005). Batu Hijau Dulu, Kini dan Esok. Community Development Newmont Batu Hijau

Iskandar (2010), Roadmap Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Pusat Studi Reklamasi Tambang Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat, IPB

Muhiddin (2015). Reklamasi dan Revegetasi. http://www.envdept-environmental.blogspot.co.id

Sachs, J.; Warner, A. (2001). "The curse of natural resources". European Economic Review 45 (4–6): 827–838

http://www.sumbawabaratnews.com. KSB Targetkan Tambang Rakyat Bebas Merkuri (2015).

http://www.kompas.com. Limbah B3 Ancam Sumbawa Barat . 26 September 2012

www.ptnnt.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun