Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tidakkah Sesungguhnya Pilatus Itu Orang Baik?

8 April 2023   02:52 Diperbarui: 8 April 2023   06:30 3621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Lukisan Ecce Homo karya Munkcsy (Dok Istimewa via Wikimedia)

Selain Yudas Iskariot, tokoh antagonis yang kerap disebut dalam kisah sengsara Kristus adalah Pontius Pilatus. Beberapa kali saya bertanya-tanya, memangnya seberapa sentral sih peran Pontius Pilatus, hingga namanya  disebut dalam syahadat yang diucapkan oleh umat Kristiani setiap menyatakan imannya? Potongan syahadat yang memuat nama Pilatus berbunyi: " ... yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus. Disalibkan, wafat dan dimakamkan."

Dalam hati, saya selalu merasa bahwa Pontius Pilatus itu sebenarnya orang baik.

Anggapan bahwa Pilatus sesungguhnya orang baik, selalu muncul setiap menjelang Paskah. Ketika jalan-jalan salib diselenggarakan. Ketika pasio dinyanyikan. Ketika bacaan Kitab Suci mengartikulasikan kembali peristiwa ketika Yesus disesah. Ketika teks yang bersumber dari Yohanes mengulang nama Pilatus setidaknya sebanyak 24 kali. Banyak betul!

Tahun ini, perasaan itu kembali muncul.

"Mengapa nama Pontius Pilatus sampai disebut dalam syahadat? Kayaknya dia tuh hina banget ya, sampai kesalahannya harus diulang-ulang terus sama umat."

Pertanyaan tersebut saya lontarkan sembari lalu, kepada seorang Romo yang saya kenal. Romo tersebut menjawab, "Namanya ditaruh di situ sebagai penanda periode. Dalam pemerintahan Pontius Pilatus."

Ah, betul juga. Tidak ada pernyataan yang memojokkan Pontius Pilatus di situ. Tapi kalau begitu, mengapa tidak ditulis dalam pemerintahan Kaisar Tiberius saja? Atau Raja Herodes, atau Hanas/Kayafas? (Itulah saya ya. Umat ndablek yang tiada hentinya mempertanyakan).

Pontius Pilatus, Sosok Manusia Biasa
Pilatus mengemban tugas sebagai prefek/gubernur Kerajaan Romawi di Provinsi Yudea. Banyak sumber yang saya baca mencantumkan kualitas personal Pilatus sebagai gubernur yang kejam, mempromosikan penyembahan kepada kaisar, serta memprovokasi kerusuhan antara orang Yahudi dan Samaria.

Oleh karenanya, Pilatus adalah cerminan pemimpin yang lalim. Amat wajar apabila saya dan Anda memandang Pilatus sebagai villain. Sebagai orang berdosa yang kejahatannya direkam oleh sejarah.

Demikian pula pada konteks pengadilan Yesus, Pilatus memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman terhadap Yesus atau membebaskannya . Akan tetapi, alih-alih memilih membebaskan Yesus, Pilatus malah kesohor karena aksi mencuci tangannya. Tindakan tersebut memiliki asosiasi sebagai bentuk keengganan untuk menanggung risiko. Ogah bertanggung jawab. Tidak mau disalahkan. Mencari keselamatan bagi dirinya sendiri. Bagi karier, jabatan, nyawa, serta image-nya di hadapan publik dan atasannya.

Ketidaktegasan Pilatus adalah sebuah bentuk keculasan yang patut kita kritik. Sama halnya seperti sekarang, saat kita mengkritik kebijakan dan perilaku pejabat kita hari ini. Kita menyesalkan tindakan saat mereka bersikap acuh tak acuh melihat aksi intoleransi atau mengeluarkan pernyataan ambigu demi menenangkan banyak pihak berkonflik.

Tetapi saya menyoroti satu hal. Keputusan Pilatus untuk cuci tangan bukan spontan dilakukan, melainkan sudah melalui pertimbangan, proses, dan olah batin yang tidak mudah.

Kita mengingat dalam Matius 27 saat Pilatus duduk di kursi pengadilan pasca diserahkannya Yesus oleh imam dan tua-tua bangsa Yahudi. Saat itu, istri Pilatus mengirim pesan kepada Pilatus. Di dalamnya, Sang Istri meminta supaya Pilatus tidak mencampuri perkara Yesus lantaran istrinya sudah mendapatkan pertanda tidak mengenakkan melalui mimpi.

Ilustrasi cuci tangan. Freepik/WIRESTOCK
Ilustrasi cuci tangan. Freepik/WIRESTOCK

Yaa ... terlepas dari Pilatus yang mungkin sebenarnya adalah sosok taat istri dan jadi ngeri setelah membaca pesan istrinya, kita bisa melihat ada banyak gestur Pilatus yang sebenarnya ingin sekali melepaskan Yesus. Bahkan pertama-tama, Pilatus disebutkan telah sekali menolak menjadi hakim atas kasus Yesus. Pilatus malah meminta Yesus diadili saja oleh tua-tua adat sesuai hukum Taurat.

Kedua, Injil Yohanes setidaknya mencatat Pilatus menginterogasi Yesus 3 kali dengan pertanyaan serupa untuk mengafirmasi apakah benar Yesus menyebut dirinya sebagai raja orang Yahudi.

Setelah itu, ketiga, Pilatus menyatakan bahwa dirinya tidak menemukan kesalahan apapun pada Yesus. Pilatus malah menawarkan kepada massa untuk membebaskan 1 orang tawanan pada hari Paska. Tapi ujung-ujungnya, Pilatus seakan kena prank. Ternyata tawanan yang dipilih untuk bebas malah Barabas.

Keempat, Pilatus untuk kedua kali mengatakan kepada massa bahwa ia tidak menemukan kesalahan apapun pada Yesus. Di sini, seakan-akan Pilatus ingin menggertak tuntutan massa yang menginginkan supaya Yesus dihukum. Pilatus pun mengikuti keinginan publik sebagai bentuk kesetiaannya pada Kaisar. Ia menyuruh orang mulai menyesah Yesus, menaruh mahkota duri, dan berseru, "Ecce homo! sebelum publik menginginkan siksaan yang lebih kejam. Penyaliban.

Kelima, Pilatus mencoba untuk melakukan pengadilan sekali lagi. Ia mengulangi interogerasi dan berkata kepada Yesus, "Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" Di sini dapat kita lihat bahwa Pilatus mungkin mencoba bernegosiasi kepada Yesus.

Sayangnya, kita memang tidak bisa mendengar intonasi verbal dan melihat mimik wajah Pilatus saat berinteraksi dengan Yesus. Oleh karenanya, kita tak bisa menerka dengan pasti tendensi Pilatus saat menghadapi Yesus. Apakah ia sedang merepresi Yesus? Apakah ia sedang berpolitik? Ataukah ia sedang ketakutan? Ataukah ia tengah putus asa terhadap aksi bungkam Yesus?

Tetapi satu kalimat yang eksplisit disebutkan Yohanes pada bab 19 ayat 12 berbunyi: Sejak saat itu Pilatus berusaha untuk membebaskan Dia, tetapi orang-orang Yahudi berteriak, "Jikaulau engkau membebaskan Dia, engkau bukanlah sahabat Kaisar. Setiap orang yang menganggap dirinya sebagai raja, ia melawan kaisar."

Maka, saudari-saudara ... di manakah jalan keluar seorang pendosa seperti Pilatus saat ia menghadapi tekanan seperti itu? Ketika ia harus memilih antara nyawa, hukum yang berlaku, dan amarah publik? Sontak ia menjadi begitu penakut, egois, plinplan, dan tak berdaya.

Tapi tidakkah itu manusiawi? Tidakkah kita sebagai manusia biasa juga kerap berada pada titik kebingungan serupa, tak peduli seberapa keras kita berusaha menyangkal diri berkali-kali sebelumnya? Bahkan Pilatus telah melakukan lima kali upaya untuk membebaskan Yesus!

Pilatus adalah Kita
Sosok Pilatus memang bukan teladan yang baik. Tapi tidakkah pada sebuah cerita, kehadiran "sosok bercela" kerap diperlukan sebagai antitesis dari "sosok yang ideal"?

Bagi saya, kisah Pilatus adalah cerita tentang kerapuhan. Tentang keputusasaan umat manusia yang gagal memperjuangkan hati nuraninya. Meski dikatakan dalam Lukas 23 bahwa pengadilan Yesus membawa keuntungan berupa persahabatan antara Pilatus dan Herodes, bagaimanapun juga beban moral dan rasa bersalah bisa jadi tetap berdiam dalam benak Pilatus.

Bagi saya, kisah Pilatus adalah cerita tentang kerapuhan. Tentang keputusasaan umat manusia yang gagal memperjuangkan hati nuraninya.

Ada yang menginterpretasikan bahwa tulisan INRI pada salib Yesus adalah sebuah cemooh. Tetapi bagaimana jika ternyata tulisan tersebut adalah penghormatan terakhir Pilatus kepada Yesus? Wujud penyesalan yang paling sederhana dan dilakukan diam-diam. Bahkan Pilatus berani menghardik imam-imam Yahudi yang protes terhadap tulisan tersebut. Ia berseru kepada mereka, "Apa yang kutulis, tetap tertulis!"

Terakhir, bagaimana jika Pilatus bertindak sebaliknya: bersikeras dan berhasil "menyelamatkan" nyawa Yesus? Bukankah dengan begitu Yesus tidak bisa minum dari "cawan-Nya" dengan mengorbankan dirinya dan menyelamatkan kita umat manusia?

Kawan-kawan, saya yakin, dalam kehidupan ini, saya sering menjadi seorang Pilatus. Tapi lebih sering lagi menjadi imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi yang sekonyong-konyong menyerahkan Yesus dengan pongahnya. Tanpa melakukan olah batin dan diam-diam menyimpan penyesalan seperti yang dilakukan Pilatus.

Renungan yang melankolis ini kok jadi seperti pembelaan terhadap Pilatus ya. Wkwkwkw. Tapi semoga Anda semua mengerti poin saya. Pilatus adalah kita. Kita yang matian-matian berjuang melawan kantuk mendengar pasio, tapi akhirnya tertidur juga. Hahahaha. Manusiawi kan? :p

Terima kasih telah membaca catatan pelanturan saya. Selamat menyambut Vigili Paskah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun