Maka, saudari-saudara ... di manakah jalan keluar seorang pendosa seperti Pilatus saat ia menghadapi tekanan seperti itu? Ketika ia harus memilih antara nyawa, hukum yang berlaku, dan amarah publik? Sontak ia menjadi begitu penakut, egois, plinplan, dan tak berdaya.
Tapi tidakkah itu manusiawi? Tidakkah kita sebagai manusia biasa juga kerap berada pada titik kebingungan serupa, tak peduli seberapa keras kita berusaha menyangkal diri berkali-kali sebelumnya? Bahkan Pilatus telah melakukan lima kali upaya untuk membebaskan Yesus!
Pilatus adalah Kita
Sosok Pilatus memang bukan teladan yang baik. Tapi tidakkah pada sebuah cerita, kehadiran "sosok bercela" kerap diperlukan sebagai antitesis dari "sosok yang ideal"?
Bagi saya, kisah Pilatus adalah cerita tentang kerapuhan. Tentang keputusasaan umat manusia yang gagal memperjuangkan hati nuraninya. Meski dikatakan dalam Lukas 23 bahwa pengadilan Yesus membawa keuntungan berupa persahabatan antara Pilatus dan Herodes, bagaimanapun juga beban moral dan rasa bersalah bisa jadi tetap berdiam dalam benak Pilatus.
Bagi saya, kisah Pilatus adalah cerita tentang kerapuhan. Tentang keputusasaan umat manusia yang gagal memperjuangkan hati nuraninya.
Ada yang menginterpretasikan bahwa tulisan INRI pada salib Yesus adalah sebuah cemooh. Tetapi bagaimana jika ternyata tulisan tersebut adalah penghormatan terakhir Pilatus kepada Yesus? Wujud penyesalan yang paling sederhana dan dilakukan diam-diam. Bahkan Pilatus berani menghardik imam-imam Yahudi yang protes terhadap tulisan tersebut. Ia berseru kepada mereka, "Apa yang kutulis, tetap tertulis!"
Terakhir, bagaimana jika Pilatus bertindak sebaliknya: bersikeras dan berhasil "menyelamatkan" nyawa Yesus? Bukankah dengan begitu Yesus tidak bisa minum dari "cawan-Nya" dengan mengorbankan dirinya dan menyelamatkan kita umat manusia?
Kawan-kawan, saya yakin, dalam kehidupan ini, saya sering menjadi seorang Pilatus. Tapi lebih sering lagi menjadi imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi yang sekonyong-konyong menyerahkan Yesus dengan pongahnya. Tanpa melakukan olah batin dan diam-diam menyimpan penyesalan seperti yang dilakukan Pilatus.
Renungan yang melankolis ini kok jadi seperti pembelaan terhadap Pilatus ya. Wkwkwkw. Tapi semoga Anda semua mengerti poin saya. Pilatus adalah kita. Kita yang matian-matian berjuang melawan kantuk mendengar pasio, tapi akhirnya tertidur juga. Hahahaha. Manusiawi kan? :p
Terima kasih telah membaca catatan pelanturan saya. Selamat menyambut Vigili Paskah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H