Bila rasa kepo tinggi, perlu sedikit mengintip melewati bilang-bilah kayu untuk bisa mengatakan, "Oh iya, ada sumurnya!
Ketika sedang mengintip itulah, seorang bapak keluar dari dalam rumah yang posisinya dalam Lorong Wallace, tepat berseberangan dengan halaman rumah belakang Wallace. Tak perlu waktu lama.
Usai mengucap salam dan bertanya keperluan kami, ia pun dengan mudah menebak bahwa kami adalah 4 orang yang penasaran dengan Rumah Wallace.
Namanya Pak R, memperkenalkan diri sebagai Ketua RT.
Diskusi berikut ini adalah semata-mata mengandalkan ingatan saya. Detil yang tidak bisa saya pertanggungjawabkan mengenai relasi antara Pak R dan pemilik asli rumah, meskipun ada terbersit sedikit ingatan, sayangnya tidak bisa saya ungkapkan di sini.
"Ini yang punya rumah lagi keluar kota. Banyak turis asing jauh-jauh datang ke sini, tapi memang nggak bisa masuk. Di dalam juga katanya sudah banyak yang berubah. Jadi ya nggak ada yang bisa dilihat."
Banyaknya turis yang mencari tahu jejak Wallace pun membuat Pak R sempat membuka kafe bertema Alfred Wallace di rumahnya. Kami berbincang di bekas kafenya yang masih menyisakan ornamen bergambar wajah Wallace.
Pemerintah yang urung membeli rumah bersejarah itu karena alasan budget dan minimnya kesadaran warga lokal tentang nilai sejarah Wallace yang sesungguhnya dapat meningkatkan posisi Ternate sebagai laboratorium/museum hidup nomor 1 di Indonesia.
Plus, kami berbincang juga tentang rumor Pemerintah Inggris yang mau memberikan uang milyaran rupiah jika ada yang berhasil menemukan rumah asli Wallace untuk dibuat sebagai museum peringatan berisi segala macam temuannya.