Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Cara Menuju Tidore dan Susahnya Mencari Ulasan Penginapan Seroja

27 Desember 2018   01:33 Diperbarui: 27 Desember 2018   17:03 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat datang di Pelabuhan Rum, Balibunga, Pulau Tidore! Ini penampakan pelabuhannya. Terasa lebih sepi dibandingkan dengan Ternate. Foto dokumentasi Widha Karina

Sebenarnya saya paling males nulis pengalaman liburan. Pertama, saya paling anti pegang HP dan buka medsos selama liburan. Makanya saya hepi kalau terdampar di lokasi yang sinyalnya susah. Liburannya bisa khusyuukk. Kalaupun ada foto bagus, ntar aja, diaplotnya pascaliburan. Pun susah sinyal adalah senjata pamungkas supaya orang kantor nggak bisa ngontak saya (mohon jangan diadukan!).

Kedua, meski gemar ngutak-atik itinerary, saya bukan tipe yang rajin bikin evaluasi dan laporan keuangan. Ketiga, malas. Kan letih ya, judulnya liburan tapi masih aja ditarget motret, bikin video, nulis. Bedanya apa dong sama kerja sehari-hari.

Tapi kadang, saya pengen banget berbagi informasi. Dan untuk beberapa kesempatan, saya sering mendapat titipan untuk menginformasikan destinasi lokal oleh orang asli sana.

Maka tadaaaa..... untuk beberapa tulisan ke depan, saya mau cerita soal pengalaman saya di Ternate dan Tidore bersama temen ngetrip saya kali ini: Ivana!

Kenapa Ternate dan Tidore?
Karena waktu itu (tahun 2017 awal) dan film Banda mau keluar. Dan Ternate-Tidore adalah 2 pulau rempah di Maluku Utara yang perannya nggak kalah penting dalam Jalur Sutera. Ini adalah saat yang tepat, terutama karena Alfred Wallace pernah tinggal di Ternate! Coba bayangkan! Betapa seksinya, pulau rempah yang bertabur sejarah!

Boong deng. Ini semata-mata karena kedodolan saya dan Ivana. Awalnya sih kami pengen ke Labuan Bajo atau Gorontalo. Berhubung tiket Labuan Bajo di Garuda Indonesia Travel Fair (GATF) tahun 2017 yang harganya Rp 900.000 PP itu ludes dalam hitungan menit, jadilah saya dan Ivana mulai ngasal berkreasi.

"Gorontalo, Mbak."
*Suara cetak-cetok mbake di laptop*
"PP 3,1 Mbak...."
"Yah.. masih mahal."
(Saya dan Ivana pandang-pandangan, diakhiri anggukan. Persis kayak di sinetron)
"Coba kalau Ternate, Mbak...."

Dan jadilah jiwa-jiwa yang kebelet liburan ini terbang ke Ternate dengan pesawat jawara se-Nusantara dengan harga kelas L ekonomi yang sebenarnya nggak murah-murah amat *nangis*. Tapi berhubung mbaknya bilang, "Kelas London (L) itu keluarnya dua tahun sekali lho Mbak. Ini murah banget." Hokelah kami percaya terutama karena Ivana dan Mbak Travelnya sama-sama orang Karo (iya, nggak ada hubungannya).

Dan bodohnya kami ya.... Kami beli tiket buat berangkat tanggal 30 Mei 2017. Setelah melalui beberapa kali miting itinerary, jeng jeng... baru ngeh kalau itu pas bulan puasa. Terus googling, Ternate dan Tidore itu Kesultanan Islam. Mak celeguk. Lha pantes tiketnya murah (murah menurut mbaknya)!

Sebagai informasi tambahan, saya dan Ivana memang nggak puasa (tapi ini rahasia. Tolong jangan dibesar-besarkan). Padahal salah satu tujuan kami adalah wisata kuliner *mbrebes mili*. Ini sempat ada episode seru, bagaimana kami akhirnya ikutan puasa tapi tetep nggak mau rugi, tetap naik turun benteng dan ngotot mau coba banyak makanan. Nah, neks taim poin ini bakal dibahas di tulisan selanjutnya yes.

Memangnya di Tidore Ada Penginapan?
Bukan bermaksud meng-underestimate teman-teman dari Tidore, tapi itu benar-benar menjadi pertanyaan kami. Apalagi kami sudah memutuskan bahwa kami akan ke Tidore dulu, sebelum Ternate. Kenapa? Soalnya Tidore jauh, huhu.

Untuk ke Tidore dari Jakarta, kita harus turun dulu di Bandara Sultan Babullah Pulau Ternate, lalu nyeberang dengan ferry atau speedboat ke Pulau Tidore.

Dari Bandara Sultan Babullah Ternate, kita harus menempuh jalur darat ke Pelabuhan Bastiong dengan menumpang mobil sewaan atau ojek. Ojek lokal dari bandara cukup mahal karena mereka mendominasi trayek ini. Sediakan uang kira-kira Rp 50.000 untuk jarak Sultan Babullah -- Pelabuhan Bastiong (+13 Km) tanpa macet.

Meski mahal, ojek dan penyedia layanan transportasi di Ternate santun, tak pernah memaksa kita untuk menggunakan jasanya (gak kayak sopir taksi tembak yang nyeredeng-nyeredeng mulu). Penyedia jasa di Ternate sangat informatif dan ramah.

Pemandangan begitu keluar Bandara Sultan Babullah Ternate. Ada banyak jasa antar, tapi driver-nya kalem-kalem. Foto dokumen Widha Karina
Pemandangan begitu keluar Bandara Sultan Babullah Ternate. Ada banyak jasa antar, tapi driver-nya kalem-kalem. Foto dokumen Widha Karina
Kalau jadwalnya pas, kita bisa naik kapal ferry (ongkosnya lupa, tapi nggak lebih dari Rp 15.000) dengan waktu tempuh +15 menit. Saat kami datang di Pelabuhan Bastion, ada info bahwa kapal ferry-nya rusak (baru akan datang 3 jam kemudian).

Jadi saya dan Ivana memilih speedboat yang berangkat setiap saat. Biayanya Rp 10.000 untuk 6 menit waktu tempuh. Cepet banget, praktis. Dan seru gitu bisa dengerin ibu-ibu PNS ngobrol.

Situasi dalam speedboat. Speedboat baru akan berangkat apabila penuh. Karena kami naik pada pagi hari (sekitar pukul 6 atau 7), maka speedboat dipenuhi warga yang sebagian besar memanfaatkan taksi air ini untuk berangkat kerja lintaspulau. Foto dokumentasi Widha Karina
Situasi dalam speedboat. Speedboat baru akan berangkat apabila penuh. Karena kami naik pada pagi hari (sekitar pukul 6 atau 7), maka speedboat dipenuhi warga yang sebagian besar memanfaatkan taksi air ini untuk berangkat kerja lintaspulau. Foto dokumentasi Widha Karina
Ohya, pelabuhan ferry dan speedboat agak terpisah lokasinya, ya kurleb 500 meter doang sih. Tapi kalau jalan tembusnya lagi ditutup, muternya bisa hampir 1 Km. Jadi saran saya, kalau kalian naik ojek, mending minta diantar langsung ke pelabuhan speedboat aja.

BTW kehidupan di pelabuhan speedboat agak lebih liar. Terutama para cewek, kita mesti tahan-tahan mental sedikit. Suka ada abang-abang kapal yang godain sambil ketawa-ketawa. Atau sayanya aja yang GR. Bisa jadi mereka lagi lihat twitnya Marno Blewah.

Penampakan Pelabuhan Speedboat, Bastion, Ternate. Tidak ada plang dan tujuan speedboad, maka bertanyalah kepada bapak-bapak ini walau selalu ada risiko diganggu. Hehe... Foto dokumentasi Widha Karina.
Penampakan Pelabuhan Speedboat, Bastion, Ternate. Tidak ada plang dan tujuan speedboad, maka bertanyalah kepada bapak-bapak ini walau selalu ada risiko diganggu. Hehe... Foto dokumentasi Widha Karina.
Setelah membeli tiket, datangilah speedboad yang sesuai dengan tujuanmu. Jangan sampai salah, tujuannya ada banyak. Foto dokumentasi Widha Karina
Setelah membeli tiket, datangilah speedboad yang sesuai dengan tujuanmu. Jangan sampai salah, tujuannya ada banyak. Foto dokumentasi Widha Karina
Sesampainya kami di Pelabuhan Rum, Balibunga, Tidore, nah di sini mulai ada scam. Hahaha. Kalau bukan karena ibu baik hati yang mengajak kami nginthilin beliau, kami udah kena tipu daya sopir angkot yang memaksa nge-charter mobilnya dengan harga mahal. Mungkin sopir ini nggak bermaksud jahat, tetapi sudah terbiasa dimintai pendatang yang gemar charter mobil buat muter-muter pulau alih-alih ngikutin trayek regular.

Selamat datang di Pelabuhan Rum, Balibunga, Pulau Tidore! Ini penampakan pelabuhannya. Terasa lebih sepi dibandingkan dengan Ternate. Foto dokumentasi Widha Karina
Selamat datang di Pelabuhan Rum, Balibunga, Pulau Tidore! Ini penampakan pelabuhannya. Terasa lebih sepi dibandingkan dengan Ternate. Foto dokumentasi Widha Karina
Singkat kata, biar gak kena scam, berjalanlah dengan tenang seolah-olah kamu adalah penduduk lokal (iya sih, nggak mungkin) ke terminal kecil samping Pelabuhan Rum. Naiklah angkot dari situ untuk ke Kota Soa Sio Tidore. Ongkosnya Rp 12.000.

Sekilas, waduh mahal amat! Tapi tolong dong jangan dibandingkan dengan angkot Jakarta (ngomong ke diri sendiri). Tapi setelah angkotnya jalan, astaga, harga segitu terbilang murah buanget! Kami menyusuri jalan di garis pantai yang berjarak kurleb 20-an km. Jalannya sepiii banget.

Terminal Rum Balibunga Tidore ini terletak tepat di samping Pelabuhan Rum. Pembatasnya adalah pagar berwarna kuning. Rumah sebelah kiri adalah pelabuhan, dan parkiran di sebelah kanan itu sudah terminalnya. Foto dokumentasi Widha Karina
Terminal Rum Balibunga Tidore ini terletak tepat di samping Pelabuhan Rum. Pembatasnya adalah pagar berwarna kuning. Rumah sebelah kiri adalah pelabuhan, dan parkiran di sebelah kanan itu sudah terminalnya. Foto dokumentasi Widha Karina
Sepanjang jalan ada permukiman warga di sebelah kiri dan laut bersiluet gunung di sebelah kanan. Syahduuu banget. Tipikal angkot Tidore dan Ternate gemar sekali menyetel musik kencang-kencang, tapi tahu diri ketika melewati rumah yang sedang punya hajatan.

Angkotnya sama saja seperti angkot pada umumnya. Hanya, angkot di sini istimewa pemandangan dan playlist-nya. Foto dokumentasi Widha Karina
Angkotnya sama saja seperti angkot pada umumnya. Hanya, angkot di sini istimewa pemandangan dan playlist-nya. Foto dokumentasi Widha Karina
Ketika memasuki Kota Soa Sio, jangan harap ada plang selamat datang atau penanda lainnya. Dari awal, beritahu saja nama penginapanmu ke sopirnya. Seperti yang saya bilang, penginapan di Tidore itu sedikit (mudah-mudahan sudah lebih banyak di tahun 2018). Karenanya, kalau ada orang asing, udah ketahuan tuh, kira-kira nginep di mana, paling di penginapan itu lagi, itu lagi. Abang angkotnya sudah hapal.

Eh lupa, manggil abangnya jangan abang ya, Om aja, atau Pak. Kalau masih muda dan kita yakin dia orang Maluku, panggil Nyong juga boleh.

Balik Lagi, Memangnya Penginapan di Tidore Seperti Apa?
Nahkan jadi lupa. Intinya, ketika kami googling "Penginapan di Tidore", yang keluar paling banyak hanya 3 nama penginapan. Udah gitu, masing-masing penginapan nggak ada review-nya. Palingan cuma ada dua atau tiga pengunjung yang upload foto, itupun foto selfie (hadeehhh). Nggak jelas bentuk penginapannya gimana.

Meski demikian, saya dan Ivana tertarik dengan penginapan yang paling banyak nongol di Google: Penginapan Seroja. Dan penginapan ini sudah diulas KOMPAS.com! Hmmmm... Secara saya (lebih) percaya media yang belakangan ini mengubah tagline menjadi "Jernih Melihat Dunia" (pereus), jadi deh penginapan ini kami kepoin.

BTW kami nggak dibayar sama Seroja ataupun Pemda Tidore buat bikin tulisan ini ya. Catat! Artikel ini murni biar you you semua punya gambaran cari penginapan di sana.

Menurut beberapa sumber, Penginapan Seroja adalah penginapan tertua di Tidore, pembangunannya di-support pemerintah daerah dan dicitrakan istimewa karena memiliki kolam renang laut. Okelah nilai plus buat penginapan tertua yang dibangun di bawah pengawasan pemerintah, berarti udah sering terima tamu, terkelola, dan terjamin pelayanannya.

Minusnya, penginapan ini bisa jadi lawas, ringkih, gelap, berhantu, dan mungkin fiktif, bayarnya pake daun (nggak ding). Soal kolam renang laut? Jujur aja, saya nggak terlalu peduli, soalnya kami hanya semalam di Tidore dan nggak berencana renang di laut.

Secara posisi, saya kepoin di Google Map, Penginapan Seroja ada di pinggir jalan besar, tidak mblusuk seperti penginapan lainnya.  Lokasinya juga hanya berjarak 200 meter dari Benteng Tahula, Kedaton (Keraton) Kesultanan Tidore dan Benteng Tore. Wah... cocok ini. Bisa keliling modal jalan kaki.

Akhirnya cuss, kami telepon. Yang angkat, namanya Ros. Otomatis, lidah saya langsung Melayu dan memanggilnya Kak Ros. Upin Ipin mode on. Untung saya nggak ketrucus minta ayam goreng.

Ternyata masih ada kamar untuk tanggal 30 Mei. Tarifnya Rp 330.000/kamar untuk 2 orang dengan fasilitas kamar mandi dalam, sarapan dan makan malam. Ntap! Padahal sih budget kami per malam untuk trip ini cuma Rp 150 - 200 ribu per malam. Tapi berhubung penginapan di Tidore sulit, kami pikir, yasudahlah. Gapapa.

Itu Kan Baru Rencana..... Kenyataannya Gimana?
Begitu si ibu baik hati dari speedboat mengajak kami turun di depan Penginapan Seroja, siiiingggg....... Beneran udah nyampe kota nih? Kok masih sepi, tak jauh beda dengan beberapa desa yang tadi kami lewati dengan angkot.

Jalan utama di depan Penginapan Seroja. Foto dokumentasi Widha Karina
Jalan utama di depan Penginapan Seroja. Foto dokumentasi Widha Karina
Menyeberang jalan yang hanya cukup untuk dua mobil, tibalah kami di Penginapan Seroja. Dari luar penginapan ini tampak seperti rumah penduduk yang lain. Beratap rendah dan dindingnya dicat warna-warni. Halaman depannya dipenuhi pot bunga. Manis sekali.

Tampak depan Penginapan Seroja. Foto dokumentasi Widha Karina
Tampak depan Penginapan Seroja. Foto dokumentasi Widha Karina
Kami masuk mencari Kak Ros, tetapi yang ada hanya seorang Ibu yang sudah cukup tua. Ia memanggil-manggil nama Ros, tetapi karena tak ada jawaban, akhirnya ia sendiri yang melayani kami. Mengecek nama booking dan memberikan kami kunci kamar. Ia mempersilakan kami beristirahat, sembari memberi pesan supaya kalau ada apa-apa, boleh nanti temui Ros langsung. "Mungkin (sedang) belanja," ujarnya.

Saya dan Ivana masuk ke kamar dan mulai membongkar isi tas sembari mengecek kamar mandi. Kamarnya rapi, bersih, dan sederhana. Setelah mengisi perut dengan roti yang diberikan maskapai (kami ngunyah dalam kamar karena di luar sana kan orang sedang puasa), kami keluar dan mulai berkeliling ke seluruh penginapan. Oh betapa sepinya, ternyata kami adalah satu-satunya tamu saat itu.

Penginapan ini sesungguhnya adalah tempat tinggal yang kemudian disulap untuk bisa menampung puluhan orang. Selain kamar-kamar pada bangunan utama, mereka juga membangun sekian kamar di halaman belakang. FYI, "halaman belakang" mereka beneran laut. Sampai bingung ini gapapa nih rumah langsung samping-sampingan sama laut?

Foto dokumentasi Widha Karina
Foto dokumentasi Widha Karina
Mungkin kalau penginapan ini penuh, bakal ada tamu yang diinapkan di kamar yang notebene beneran dibangun di atas laut. Di samping kamar-kamar tersebut ada kolam laut yang selalu disebut-sebut setiap kali saya dan Ivana googling penginapan di Tidore. Entah kolam yang dibatasi tembok dengan perosotan itu apakah sungguh bisa dipakai atau tidak.

Setelah melihat kondisi penginapan, siang itu kami pamit ke Ibu dan Kak Ros untuk berjalan-jalan sampai sore. Setelah mengetahui bahwa kami berdua tidak berpuasa, Kak Ros membekali kami berdua dengan air minum kemasan, banyaaak sekali. Setengahnya kami simpan dalam kamar dan setengahnya kami tuang ke botol minum kami masing-masing sebagai bekal perjalanan.

Kak Ros mengatakan, seharusnya tarif kamar sudah termasuk makan malam dan sarapan. Tetapi karena pada bulan puasa semua karyawan dipulangkan tengah hari, penginapan tidak bisa menyediakan  makan malam. Sebagai penggantinya, Kak Ros menyediakan kudapan pada jam buka puasa dan sahur. Dengan begitu, saya dan Ivana harus cari makan malam sendiri di luar. Isokei.


BTW jarak antara Penginapan Seroja dengan Benteng Tahula, Benteng Tore, dan Kedaton Tidore beneran deket, lho! Sedekat itu sehingga kalau tiba-tiba saya mules pas lagi jalan-jalan di benteng, saya bisa pulang dulu ke penginapan untuk mengurus hajat hidup manusia pada umumnya.

Tapi Penginapan Seroja ini berjarak agak jauh dari pasar. Untuk membeli jajanan dan makan malam, kami harus naik bentor (becak motor) ke pasar. Tarifnya tidak mahal, hanya berkisar Rp5.000 sampai 15.000 saja.

Saya dan Ivana tidak banyak berinteraksi dengan Ibu dan Kak Ros karena mereka berdua jarang terlihat di ruang tamu. Yang kami temui malah anggota keluarga lain, perempuan seusia kami yang begitu jam berbuka puasa, menggunakan ruang tamu untuk bercengkerama dengan teman-temannya. Itupun saya dan Ivana tidak enak mengganggu dan memilih untuk beristirahat saja dalam kamar.

Obrolan antara saya, Ivana, dan Ibu malah terjadi keesokan paginya, ketika kami harus check out dan meneruskan perjalanan ke Ternate. Saya bertanya tentang riwayat foto-foto yang tergantung di dinding penginapan.

Sembari menunjuk salah satu foto, Si Ibu dengan antusias bercerita, "Saya pernah ketemu Pak Presiden Soekarno, duluuuu sekali waktu Pak Soekarno datang ke sini, ke Kedaton. Saya masih SD, dipilih untuk bawa bunga menyambut (dia). Senang sekali waktu itu."

Ivana dan Ibu di Penginapan Seroja. Foto dokumentasi Widha Karina
Ivana dan Ibu di Penginapan Seroja. Foto dokumentasi Widha Karina
Dua hari di Tidore cukup membuat saya trenyuh. Obrolan tentang Bung Karno tak hanya terlontar dari Ibu Penginapan Seroja, tetapi juga dari penduduk tua lainnya. Kekaguman mereka tak luntur kepada presiden nomor satu itu, seakan-akan tahun 1945 belum lama berlalu. Kesan itu, akan saya ceritakan di artikel selanjutnya, tentang lokasi wisata di Tidore, makanan, dan masyarakatnya.

Terinspirasi dari minimnya review tentang penginapan di Tidore, dalam artikel ini sudah saya sertakan juga video buatan saya, untuk melengkapi informasi bagi kamu-kamu  yang mau jalan-jalan ke sana. Jadi, kalian sudah mantap mau menginap di Penginapan Seroja?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun