Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Membaca Rumbuk Randu, Membayang Halimunda

15 Januari 2018   16:24 Diperbarui: 11 Februari 2018   13:25 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover | Dokumen pribadi

Jika anak bungsu Dewi Ayu berjenis kelamin laki-laki dan tinggal bukan di Halimunda, melainkan bergeser ke arah timur Pulau Jawa. Dan kemudian diadopsi oleh sebuah keluarga yang boro-boro dipuja dan membuncahkan feromon warga, melainkan membuat siapa pun memalingkan muka. Dan bila saja anak itu tumbuh tidak dalam kealpaan sistem agama, melainkan lekat dengan kultur Islam yang membuat dirinya diberi nama Muhammad Dawud. Atau lazim dipanggil Mat Dawuk.

Narasi dibuka oleh seorang tokoh yang didapuk sebagai narator. Warto Kemplung namanya. Pada satu atau banyak bagian yang mengisahkan laku persuasif Warto Kemplung, rasa-rasanya saya seperti membaca naskah drama. Dialog yang berkesinambungan dan gerakan-gerakan besar layaknya entakan sandal dan raungan minta kopi. Atau gestur-gestur kecil signifikan yang tentu saja memberikan suspense dan cue di panggung teater.

Warto Kemplung berkisah dari bangkunya, di sebuah warung kopi (saya membayangkan visual seorang pria bersarung yang hampir selalu mengangkat sebelah kakinya). Tentang tragedi seorang anak laki-laki yang terlahir berhidung gerowong dan berbibir cuil, ah pokoknya buruk rupa. Ayahnya sendiri urung menerimanya, terlebih karena sang istri mati karena melahirkan si anak, yang di kemudian hari malah mendapat perlindungan dari Mbah Dulawi, kakeknya.

Mat Dawuk, nama yang kemudian disematkan pada anak buruk rupa itu lantaran perawakannya yang mengerikan, tak pernah benar-benar punya kawan. Bahkan Mbah Dulawi meninggalkannya saat usia si bocah belum genap lima, menghilang begitu saja. Mat Dawuk tak pernah pergi sekolah dan tentu saja itu baik, mengingat warga Rumbuk Randu lebih senang menganggapnya tak pernah ada. Apalagi mengizinkan Mat Dawuk bergaul di sekolah bersama anak-anak mereka.

Sementara itu, pada era yang sama (masa ketika Golkar berkuasa), hidup pula seorang gadis kembang desa Rumbuk Randu. Inayatun. Anak Pak Imam yang dipandang karena sang bapak adalah tokoh agama.

Lahir dengan wajah cantik nan menggemaskan, Inayatun pun terbiasa menerima limpahan cinta dari orang-orang. Ia menyadari hal tersebut itu dan tak segan-segan menyambut teman-temannya yang sekadar birahi atau mencoba menyoel tubuh ranumnya. Dari tentu saja, dari sosok bocah kecil idaman, Inayatun lambat laun berubah menjadi gadis ancaman.

Singkat kata, dalam sebuah perjalanan mencari penghidupan, Mat Dawuk dan Inayatun dipertemukan dalam perantauannya di Malaysia. Setelah menikah tiga kali, Inayatun membawa Mat Dawuk pulang ke Rumbuk Randu sebagai suaminya yang keempat. Seisi Rumbuk Randu pun gempar, lebih-lebih orang tua Inayatun yang sudah lama pasrah membiarkan tingkah Inayatun, tetapi kali ini sungguh di luar dugaan.

Pernikahan bahagia antara Mat Dawuk dan Inayatun memunculkan banyak keheranan dan kecemburuan. Tepatnya: keheranan para perempuan, kecemburuan para pria, pertanyaan dari para bocah, dan kegeraman bagi siapa saja yang tidak menyukai kehadiran Mat Dawuk yang konon telah menjadi pembunuh bayaran di Negeri Jiran.

Dan misi menyingkirkan Mat Dawuk pun dimulai, dengan restu serta keterlibatan sejumlah tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kekuatan di Rumbuk Randu. Antara lain Mandor Har, Blandong Hasan, dan Pak Imam, ayah Inayatun sendiri.

Apa-apa saja yang baik dan membuat ceria

Niat membaca "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" sesungguhnya dimulai dari kabar kemenangan novel ini pada penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Penulisnya, Mahfud Ikhwan, bahkan sempat memenangi Sayembara Novel DKJ 2014 melalui karyanya yang berjudul "Kambing dan Hujan". Maka sudah tentu "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" menjadi salah satu buku incaran yang harus dibaca.

Meski awalnya demi sekadar menggenapi rasa penasaran, toh saya suka dan larut juga membaca kisah Mat Dawuk. Saya perlu memuji alunan ceritanya yang ketat. Setiap detil yang coba dijelaskan, dirincikan dengan takaran yang tepat: tak bertele-tele tapi juga tidak terlalu singkat. Saya jadi tak sempat punya waktu untuk menguap atau bosan ketika menyantap.

Keunikan buku ini terletak dalam kemampuan penulisnya bermanuver dalam menuturkan cerita. Alur maju, mundur, lalu maju lagi. Kadang tiba pada konklusi, tetapi bisa juga tiba-tiba mengungkit histori. Semaunya saja. Seenaknya Warto Kemplung. Eh ngomong-ngomong soal Warto Kemplung, saya agak curiga bahwa kehadiran Warto Kemplung (selain penokohannya yang rancu dalam kehidupan Mat Dawuk) sesungguhnya untuk mengakomodasi kebutuhan pengarang dalam menuturkan cerita layaknya orang yang sedang bergunjing: tak tahu dari mana, tapi tahu apa yang mau diutarakan.

Lagipula, narator dalam novel ini bisa jadi ada dua. Bila tak percaya, silakan temukan sosok "Aku" di bagian hampir ke belakang. Kehadirannya yang ujug-ujug, anehnya malah melengkapi cerita alih-alih membuat cerita terasa sumbang. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kegamangan mengenai dimensi cerita hidup Mat Dawuk. Sebenarnya kita ini tengah membaca narasi versi siapa. Apakah Mat Dawuk dalam alam pikir Warto Kemplung, versi Aku, ataukah versi teman-teman Mahfud Ikhwan (sialnya ada beberapa tokoh dalam novel yang diberi nama "Mahfud" dan nama seorang temannya, yang pada bagian ucapan terima kasih penulis, ternyata menyumbang kisah nyata untuk novel ini).

Begitulah. Dalam novel ini, fiksi dan fakta dipadukan secara apik. Dari aspek sosial, novel ini menyajikan fakta dinamika penduduk tradisional dan kehidupan buruh migran yang sedikit demi sedikit berkontribusi pada perubahan tatanan masyarakat dan pembangunan desa. Dan tentu saja kita tak boleh melupakan salah satu komponen penting dalam cerita ini, yakni kultur Islam di Jawa dan bagaimana ia memengaruhi tindak-tanduk warga dan menjadi latar budaya yang solid dan riil.

Diksi yang seadanya dan lumrah (kecuali tutur kata Dawuk yang kelewat teratur malah pernah membuat saya memicingkan mata mengingat ia seorang preman yang tidak bersekolah meski budinya bestari) justru menjadi kekuatan dalam novel ini. Tiga atau empat kalimat dalam Bahasa Jawa, tidak membuat masalah. Celetukan malah membuat penokohan dalam novel ini kuat, lagi-lagi karena dialog yang berlarut, tapi kok ya tidak membosankan.

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Karya sebelumnya, Kambing dan Hujan memenangi Sayembara Novel DKJ 2014.

Dunia rekaan yang serupa

Seperti Mahfud yang menyelipkan musik India, dangdut, UMNO, Malaysia, dan khazanah tradisi Islam (yang sudah pasti tidak saya pahami) sebagai penguat latar, semoga kita semua sah-sah saja memasukkan unsur lain dalam tulisan sesuai dengan preferensi masing-masing. Maka maafkanlah kecenderungan saya yang sejak awal terbayang "Cantik Itu Luka" lantaran ada beberapa konten dalam "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" yang membawa pikiran ini terbang ke Halimunda.

Sebut saja pilihan kisah yang mengawali novel ini, yang sama-sama ditemukan di novel karya Eka Kurniawan itu: kematian (sekaligus kebangkitan). Tak penting siapa yang menyampaikan, kedua novel tersebut diawali dengan kebangkitan Dewi Ayu dan kedatangan kembali Dawuk ke kampungnya. Dan apa? Iya, dua-duanya sudah dikira mati oleh penduduk kampung. Bedanya, yang satu datang dari liang lahat, dan yang satu lagi datang untuk pergi ke makam. Tapi keduanya, diceritakan akrab dengan suasana suram, keterasingan, terisolasi, dan tentu saja: kuburan.

Sama-sama menjadi bahan omongan tetangga dan sedapat mungkin dijauhi oleh orang-orang, baik Dewi Ayu dan Dawuk memiliki caranya sendiri untuk bergembira hati. Yang satu berharap punya anak berwajah buruk yang akan menghindarkannya dari nasib buruk. Sedangkan yang lain (sudah beruntung) memiliki wajah yang buruk, tapi toh nasibnya tetap buruk.

Keduanya memiliki pergumulan yang serupa mengenai persepsi masyarakat dalam memandang tampilan lahiriah, materi, perempuan, mitos, kemiskinan, adat, binatang, dan relasi kekuasaan. Jika pada keluarga Dewi Ayu relasi kekuasaan berkelindan dengan seks, begitu pula yang terjadi pada roman Dawuk dan Inayatun. Keduanya memberikan penawaran tokoh yang cenderung antagonis melalui kehadiran orang-orang yang secara politis berkuasa, yakni Shodanco, klan Mandor Har, dan Blandong Hasan.

Meski demikian, tokoh-tokoh yang disajikan dalam "Cantik itu Luka" terasa lebih dilematis dan memiliki karakter yang tidak hitam putih, sementara dalam "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" saya hampir tidak menemukan kejutan karena setiap tokoh telah dinyatakan posisi moralnya sejak awal.

Tidak ada peluang bagi seorang Pak Imam untuk menyesali keputusannya untuk membunuh menantunya karena sejak awal telah dipatenkan secara ironis bahwa ia memang memiliki karakter yang berseberangan dengan Inayatun. Pun perubahan sifat yang terjadi --misalnya--- pada Inayatun dari yang awalnya digambarkan mudah mencium laki-laki, kemudian menjadi sangat setia dengan Dawuk, sepertinya hanya merupakan perubahan habitus alih-alih bertujuan menunjukkan karakter manusia yang kompleks. Meski demikian, itu pilihan pengarang. Dan saya tidak bermaksud minta "dikejutkan" dengan karakter-karakter yang tak terbaca hingga akhir cerita.

Meski berasal dari era yang berbeda, ada atmosfer pascakolonial yang cukup terasa pada situasi politik semasa Dewi Ayu dan Dawuk hidup. Hubungan patron-client bagaimana pun tetap terasa lewat konflik turun temurun yang dimulai sejak Mbah Dulawi cari perkara dengan Sinder Harjo, yang berujung pada dendam Har-Har lainnya kepada keturunan Mbah Dulawi. Dan sialnya, penduduk masih saja mengidolakan mereka yang dekat dengan pihak Perhutani.

Yang berbeda dari keduanya adalah, "Cantik itu Luka" sedikit sekali memasukkan unsur agama dalam bingkai cerita (yang mana tidak masalah sih sebenarnya), sementara "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" membuat kisah ini tak berjarak dengan pembaca, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur (sebuah upaya yang baik juga, membuat pembaca halu mengenai mana yang fiksi dan mana yang fakta).

Maksud hati ingin menyarankan membaca

Bagaimana pun juga, saya ingin mengatakan bahwa novel ini perlu Anda masukkan dalam daftar baca. Buat saya, tragedi yang dibalut komedi gelap dan dikemas dalam konteks keindonesiaan rasa-rasanya memang selalu perlu dilirik untuk kemudian dibeli.

Terlepas dari kecenderungan yang saya katakan di atas, bahwa novel ini membuat saya teringat "Cantik itu Luka", itu beda perkara. Lagi-lagi saya tidak bermaksud membandingkan, karena siapa juga yang mau dibanding-bandingkan, ya kan? Apalagi setiap penulis memiliki otoritas dan pertimbangan sendiri dalam menentukan perintilah cerita. Ini adalah faktor kedodolan saya pribadi. Semoga tidak ada yang tersinggung karenanya.

Oh ya ada satu hal.

Ketika cerita tiba pada sebuah bab yang mengisahkan sekelompok orang yang berniat mengeroyok Mat Dawuk di Rumah Kandang, yang membuat dendam kesumat terpaksa berhadapan dengan rindu seorang suami yang kehilangan belahan jiwanya, saya langsung menggumam, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" sembari nyengir, di sela impitan penumpang Transjakarta.

Hahaha. Nambah dosa.

Maafkan saya, tapi sungguh saya suka novel ini. Selamat untuk Mas Mahfud Ikhwan!

Identitas buku

  • Judul: Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
  • Penulis: Mahfud Ikhwan
  • Penerbit: Marjin Kiri
  • Terbit: Juni 2017
  • Jumlah halaman: 180 halaman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun