Meski demikian, tokoh-tokoh yang disajikan dalam "Cantik itu Luka" terasa lebih dilematis dan memiliki karakter yang tidak hitam putih, sementara dalam "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" saya hampir tidak menemukan kejutan karena setiap tokoh telah dinyatakan posisi moralnya sejak awal.
Tidak ada peluang bagi seorang Pak Imam untuk menyesali keputusannya untuk membunuh menantunya karena sejak awal telah dipatenkan secara ironis bahwa ia memang memiliki karakter yang berseberangan dengan Inayatun. Pun perubahan sifat yang terjadi --misalnya--- pada Inayatun dari yang awalnya digambarkan mudah mencium laki-laki, kemudian menjadi sangat setia dengan Dawuk, sepertinya hanya merupakan perubahan habitus alih-alih bertujuan menunjukkan karakter manusia yang kompleks. Meski demikian, itu pilihan pengarang. Dan saya tidak bermaksud minta "dikejutkan" dengan karakter-karakter yang tak terbaca hingga akhir cerita.
Meski berasal dari era yang berbeda, ada atmosfer pascakolonial yang cukup terasa pada situasi politik semasa Dewi Ayu dan Dawuk hidup. Hubungan patron-client bagaimana pun tetap terasa lewat konflik turun temurun yang dimulai sejak Mbah Dulawi cari perkara dengan Sinder Harjo, yang berujung pada dendam Har-Har lainnya kepada keturunan Mbah Dulawi. Dan sialnya, penduduk masih saja mengidolakan mereka yang dekat dengan pihak Perhutani.
Yang berbeda dari keduanya adalah, "Cantik itu Luka" sedikit sekali memasukkan unsur agama dalam bingkai cerita (yang mana tidak masalah sih sebenarnya), sementara "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu" membuat kisah ini tak berjarak dengan pembaca, terutama bagi mereka yang tinggal di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur (sebuah upaya yang baik juga, membuat pembaca halu mengenai mana yang fiksi dan mana yang fakta).
Maksud hati ingin menyarankan membaca
Bagaimana pun juga, saya ingin mengatakan bahwa novel ini perlu Anda masukkan dalam daftar baca. Buat saya, tragedi yang dibalut komedi gelap dan dikemas dalam konteks keindonesiaan rasa-rasanya memang selalu perlu dilirik untuk kemudian dibeli.
Terlepas dari kecenderungan yang saya katakan di atas, bahwa novel ini membuat saya teringat "Cantik itu Luka", itu beda perkara. Lagi-lagi saya tidak bermaksud membandingkan, karena siapa juga yang mau dibanding-bandingkan, ya kan? Apalagi setiap penulis memiliki otoritas dan pertimbangan sendiri dalam menentukan perintilah cerita. Ini adalah faktor kedodolan saya pribadi. Semoga tidak ada yang tersinggung karenanya.
Oh ya ada satu hal.
Ketika cerita tiba pada sebuah bab yang mengisahkan sekelompok orang yang berniat mengeroyok Mat Dawuk di Rumah Kandang, yang membuat dendam kesumat terpaksa berhadapan dengan rindu seorang suami yang kehilangan belahan jiwanya, saya langsung menggumam, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" sembari nyengir, di sela impitan penumpang Transjakarta.
Hahaha. Nambah dosa.
Maafkan saya, tapi sungguh saya suka novel ini. Selamat untuk Mas Mahfud Ikhwan!
Identitas buku
- Judul:Â Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
- Penulis: Mahfud Ikhwan
- Penerbit: Marjin Kiri
- Terbit: Juni 2017
- Jumlah halaman: 180 halaman