Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenaikan Tarif Tol di Akhir Tahun, Kita Harus Bagaimana?

14 Desember 2017   01:00 Diperbarui: 14 Desember 2017   15:01 1697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengemudi membayar tarif tol dengan menggunakan uang elektronik. Salah satu peningkatan yang dilakukan oleh Operator Jalan Tol adalah mengganti uang tunai dengan uang elektronik yang dapat memangkas waktu transaksi menjadi lebih cepat.(Dokumentasi Jasa Marga)

Sekali waktu saya pernah melamun dalam bus Patas AC Mayasari Bakti (iya, waktu Mayasari Bakti masih jadi raja jalanan!) yang sedang terjebak kemacetan saat hujan deras, di Tol JORR. Kira-kira berapa ya pendapatan tol pemerintah dalam sehari? Kalau macetnya mengular sampai pintu masuk tol, kan berarti kendaraan yang baru masuk tol juga terhambat ya lantaran daya tamping tol menurun. Nah kalau gitu, pemerintah ikut rugi nggak?

Pluk... dan lamunan saya buyar karena tetesan air dari langit-langit bis. Hiyak...bisnya bocor. Padahal tarifnya naik mulu. *eh

Dan ketika saya ngobrol dengan teman saya baru-baru ini, barulah saya paham. Ia seorang jurnalis ekonomi dan bisnis di sebuah media ternama. Dalam sebuah diskusi, teman saya ini mengatakan, "Ya, mereka juga dirugikan. Siapa sih yang bisa menebak jalanan macet atau nggak. Mereka juga nggak mau, karena pendapatannya pasti menurun. Nggak baik buat iklim investasi."

Dan dari obrolan itulah, mata saya terbuka (sebelumnya sudah sih, cuma memang rada kecil aja kalau pagi. Belum melek, masih kriyep-kriyep). Jadi sebenarnya, yang KZL ketika jalanan macet itu bukan hanya pengguna jasa jalan tol, melainkan juga pengelolanya. Mungkin bedanya, kalau pengguna kan berani misuh-misuh di media sosial. Lha kalau pengelola, yo ndak mungkin tho ya, dia menjelek-jelekkan produknya sendiri.

Kenaikan tarif tol Desember 2017, peluang atau petaka?
Hnah! Ngobrolin soal tol dan kemacetan, baru saja PT Jasa Marga (Persero) Tbk., melakukan penyesuaian tarif bagi 5 ruas tol, di antaranya Cawang - Pluit, Surabaya - Gempol, Belawan - Tanjung Morawa, Palimanan - Kanci, dan Tol Semarang Seksi A, B, dan C. Penyesuaian tarif tol dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berlaku mulai tanggal 8 Desember 2017 kemarin.

Uhuk. Berhubung saya bukan supir truk atau bus AKAP yang paham Palimanan - Kanci, apalagi Surabaya - Gempol, saya bakal ngomongin tentang Tol Cawang - Pluit saja. Inilah jalan tol yang saya akrabi, sering saya tebengin demi menjaga eksistensi di Ibu Kota. Dan iya, saya paham....pahaaammmm banget itu tol kadang rasa-rasanya nggak ada bedanya dengan jalan bukan tol di sebelahnya. Sama-sama padat dan kadang bikin saya mau jadi amuba. Membelah diri aja, biar badan yang satu tetep di tol, lalu badan lainnya udah jadi alibi karyawan teladan di kantor.

Dan di tengah segala kejenuhan khalayak Ibu Kota yang setiap harinya berjibaku dengan macet, rasa-rasanya kenaikan tarif tol itu nggak masuk akal sama sekali. Ibarat naruh tagihan biaya pemakaman di atas kuburan baru. Pedih, tapi kok ya memang kita butuh jasanya. Tapi di sisi lain kok ya terasa beban hidup ini makin berat.

Dan benar saja, kemarin saya membaca beberapa reaksi keras dari netizen mengenai kenaikan ini. Di Twitter, banyak yang menyayangkan peningkatan tarif tol. Padahal, seperti kita ketahui bersama, tol Cawang - Pluit tetap macet seperti biasanya. Pun menurut sebagian netizen, tidak ada peningkatan layanan yang signifikan, yang patut diganjar dengan peningkatan tarif tol. Malah ada yang menyangkut pautkan kenaikan tarif ini dengan Mamarika, Wahyudi, suku ini, suku itu, dan apalah. Deuile.... Intinya, khas netizen Indonesia kebanyakan: yang penting protes. Validasi info mah belakangan.

Sumber gambar: Twitter @Al**icL*thfy
Sumber gambar: Twitter @Al**icL*thfy
Dan pada titik ini, saya berusaha melihat masalah ini dengan mata terbuka, mata batin yang (sok) luhur tadi, dan mencoba mengurai alasan penyesuaian/peningkatan tarif tol. Dan ternyata yang diberlakukan per 8 Desember ini adalah penyesuaian tarif berdasarkan tingkat inflasi yang rutin terjadi setiap 2 tahun sekali. Dan penyesuaian ini didasarkan pada Undang-undang No. 38 Tahun 2004 Pasal 48 ayat 3 Tentang Jalan Tol.

Penetapan nominal kenaikannya disesuaikan (beda ruas, beda besar kenaikan) dengan tingkat inflasi, daya beli masyarakat, dan perhitungan Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol. Dalam penetapannya, terutama pada komponen daya beli masyarakat, Kementerian PUPR berkonsultasi dengan Badan Pusat Statistik.

Mengetahui informasi tersebut, pikiran naif saya belum puas. Inflasi sih kayaknya tidak terelakkan ya, tapi memang harus banget ya ada undang-undang yang meregulasi kenaikan harga berdasar inflasi setiap 2 tahun? Nggak bisa ditahan dulu apa, sampai setidaknya orang-orang melewati akhir dan awal tahun dengan mudik lebih gembira tanpa diwarnai kenaikan tarif?

Dan perihal ini, Basuki Hadimuljono (Menteri PUPR) mengatakan bahwa kenaikan ini sebenarnya sudah ditahan. Dan pula perlu kita ingat bahwa dalam pembangunan jalan tol di Indonesia tidak dilakukan sendirian oleh pemerintah, melainkan melibatkan investor swasta yang sudah menanam modalnya pada sejumlah ruas tol di Indonesia. Dana investor inilah yang berupaya dikembalikan oleh Jasa Marga, dengan cara menjamin masa konsesi dengan pemasukan yang progresif, seturut laju inflasi.

Dengan demikian, peta pengembalian dana investasi semakin jelas dan akan mempercepat proses bergabungnya jalan tol tersebut menjadi sepenuhnya di bawah pengelolaan pemerintah. Singkatnya, penyesuaian tarif tol diperlukan demi menjaga iklim investasi pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Bagaimana dengan dampak sosialnya
Iya, tentu saja ada dampak sosialnya. Beli cilok bayar 5.000 dapat 8, tapi tiba-tiba abangnya cuma ngasih 7 aja, mata saya sudah memicing. Apalagi perihal kenaikan harga yang harus dibayarkan oleh masyarakat setiap hari. Tidak peduli meski berbagai sumber mengatakan bahwa penyesuaian tarif tol pada akhir tahun 2017 ini terbilang kecil (tarif tol dalam kota naik "hanya" Rp 500), tetap saja akan memengaruhi sejumlah harga barang dan jasa. Biaya transportasi secara akumulatif pun akan bertambah, terutama bagi mereka yang menggunakan kendaraan dengan intensitas yang sering.

Hal ini tentu perlu kita kritik. Terlebih jika Anda adalah salah satu orang yang kurang sepakat dengan adanya Undang-undang No. 38 Tahun 2004 Pasal 48 ayat 3 Tentang Jalan Tol, yang menjadi landasan penyesuaian tarif tol setiap 2 tahun sekali. Mungkin bisa kita sarankan ke depannya untuk mengubah skema bisnis yang dapat mengalihkan sumber pendapatan tidak melulu dengan menaikkan tarif tol secara berkala.

Tetapi dalam tulisan ini saya mau kembali pada ilustrasi singkat di awal tulisan. Bahwa masalah macet, penyesuaian harga, dan segala masalah yang yang dialami oleh pengguna tol, juga dirasakan dan dikeluhkan oleh pengelola. Yang sedang dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini melalui Jasa Marga dan Kementerian PUPR), bisa jadi tengah berupaya melakukan tugas pembangunan, tetapi dalam koridor strategi bisnis yang niscayanya, tetap membutuhkan dukungan warga (materi dalam wujud penyesuaian tarif) dan tentu sarat akan kontroversi.

Tapi saya tahu, kadang antara warga dan pemerintah sebenarnya kurang ngopi bareng aja. Kalau saling tahu kondisi masing-masing, mungkin bakal saling pengertian. Kan asyik kalau pemerintahnya turun ngobrol, sosialiasi penyesuaian tarifnya nggak hanya melalui spanduk, tetapi juga masif ke kantor-kantor dan ngobrol dengan stakeholders terkait (karena bahkan Kadin juga merasa penyesuaian tarif ini tidak perlu).

Kan asyik kalau sosialiasi ke masyarakatnya bukan dibesar-besarkan soal peningkatan tarif, melainkan juga mengenalkan apa itu Standar Pelayanan Minimun (SPM) kepada masyarakat. Komponennya apa aja (kan masyarakat gak semuanya anak teknik sipil, Pak, Buk... Huhuhu.. Mana tahu kita tentang spesies tanaman di tol, lampu jalan merknya apa, standar jalan yang layak itu kayak gimana,dan yang sudah diupayakan itu seperti apa). Atau bisa juga menunjukkan bahwa, ini lho.... Berkat penyesuaian tarif, Operator Jalan Tol lebih mengutakan user experience sehingga pengguna bisa memantau CCTV lewat situs dan aplikasi Android.

Pengemudi membayar tarif tol dengan menggunakan uang elektronik. Salah satu peningkatan yang dilakukan oleh Operator Jalan Tol adalah mengganti uang tunai dengan uang elektronik yang dapat memangkas waktu transaksi menjadi lebih cepat.(Dokumentasi Jasa Marga)
Pengemudi membayar tarif tol dengan menggunakan uang elektronik. Salah satu peningkatan yang dilakukan oleh Operator Jalan Tol adalah mengganti uang tunai dengan uang elektronik yang dapat memangkas waktu transaksi menjadi lebih cepat.(Dokumentasi Jasa Marga)
Atau syukur-syukur juga Jasa Marga membuat loyalty programme ke para pengguna jalan, supaya lebih engage dengan customer-nya. Atau dari sisi pengguna, cobalah manfaatkan momen penyesuaian harga tol ini untuk lebih sering naik transportasi publik demi mengurangi macet mengular yang bikin hidup tidak produktif itu tadi lho. Gitu. Sarannya klise ya? Hahahaha!

Udah ya, pokoknya jangan pada berantem.

Udah mau tahun baru lagi. Malu sama umur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun