Sekali waktu saya pernah melamun dalam bus Patas AC Mayasari Bakti (iya, waktu Mayasari Bakti masih jadi raja jalanan!) yang sedang terjebak kemacetan saat hujan deras, di Tol JORR. Kira-kira berapa ya pendapatan tol pemerintah dalam sehari? Kalau macetnya mengular sampai pintu masuk tol, kan berarti kendaraan yang baru masuk tol juga terhambat ya lantaran daya tamping tol menurun. Nah kalau gitu, pemerintah ikut rugi nggak?
Pluk... dan lamunan saya buyar karena tetesan air dari langit-langit bis. Hiyak...bisnya bocor. Padahal tarifnya naik mulu. *eh
Dan ketika saya ngobrol dengan teman saya baru-baru ini, barulah saya paham. Ia seorang jurnalis ekonomi dan bisnis di sebuah media ternama. Dalam sebuah diskusi, teman saya ini mengatakan, "Ya, mereka juga dirugikan. Siapa sih yang bisa menebak jalanan macet atau nggak. Mereka juga nggak mau, karena pendapatannya pasti menurun. Nggak baik buat iklim investasi."
Dan dari obrolan itulah, mata saya terbuka (sebelumnya sudah sih, cuma memang rada kecil aja kalau pagi. Belum melek, masih kriyep-kriyep). Jadi sebenarnya, yang KZL ketika jalanan macet itu bukan hanya pengguna jasa jalan tol, melainkan juga pengelolanya. Mungkin bedanya, kalau pengguna kan berani misuh-misuh di media sosial. Lha kalau pengelola, yo ndak mungkin tho ya, dia menjelek-jelekkan produknya sendiri.
Kenaikan tarif tol Desember 2017, peluang atau petaka?
Hnah! Ngobrolin soal tol dan kemacetan, baru saja PT Jasa Marga (Persero) Tbk., melakukan penyesuaian tarif bagi 5 ruas tol, di antaranya Cawang - Pluit, Surabaya - Gempol, Belawan - Tanjung Morawa, Palimanan - Kanci, dan Tol Semarang Seksi A, B, dan C. Penyesuaian tarif tol dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berlaku mulai tanggal 8 Desember 2017 kemarin.
Uhuk. Berhubung saya bukan supir truk atau bus AKAP yang paham Palimanan - Kanci, apalagi Surabaya - Gempol, saya bakal ngomongin tentang Tol Cawang - Pluit saja. Inilah jalan tol yang saya akrabi, sering saya tebengin demi menjaga eksistensi di Ibu Kota. Dan iya, saya paham....pahaaammmm banget itu tol kadang rasa-rasanya nggak ada bedanya dengan jalan bukan tol di sebelahnya. Sama-sama padat dan kadang bikin saya mau jadi amuba. Membelah diri aja, biar badan yang satu tetep di tol, lalu badan lainnya udah jadi alibi karyawan teladan di kantor.
Dan di tengah segala kejenuhan khalayak Ibu Kota yang setiap harinya berjibaku dengan macet, rasa-rasanya kenaikan tarif tol itu nggak masuk akal sama sekali. Ibarat naruh tagihan biaya pemakaman di atas kuburan baru. Pedih, tapi kok ya memang kita butuh jasanya. Tapi di sisi lain kok ya terasa beban hidup ini makin berat.
Dan benar saja, kemarin saya membaca beberapa reaksi keras dari netizen mengenai kenaikan ini. Di Twitter, banyak yang menyayangkan peningkatan tarif tol. Padahal, seperti kita ketahui bersama, tol Cawang - Pluit tetap macet seperti biasanya. Pun menurut sebagian netizen, tidak ada peningkatan layanan yang signifikan, yang patut diganjar dengan peningkatan tarif tol. Malah ada yang menyangkut pautkan kenaikan tarif ini dengan Mamarika, Wahyudi, suku ini, suku itu, dan apalah. Deuile.... Intinya, khas netizen Indonesia kebanyakan: yang penting protes. Validasi info mah belakangan.
Penetapan nominal kenaikannya disesuaikan (beda ruas, beda besar kenaikan) dengan tingkat inflasi, daya beli masyarakat, dan perhitungan Standar Pelayanan Minimum (SPM) jalan tol. Dalam penetapannya, terutama pada komponen daya beli masyarakat, Kementerian PUPR berkonsultasi dengan Badan Pusat Statistik.
Mengetahui informasi tersebut, pikiran naif saya belum puas. Inflasi sih kayaknya tidak terelakkan ya, tapi memang harus banget ya ada undang-undang yang meregulasi kenaikan harga berdasar inflasi setiap 2 tahun? Nggak bisa ditahan dulu apa, sampai setidaknya orang-orang melewati akhir dan awal tahun dengan mudik lebih gembira tanpa diwarnai kenaikan tarif?