Aku lupa bertemu Duka.
Kemarin aku sudah berjumpa liang tempat Duka biasa mematut dirinya di kaca.
Tapi kuketuk, tetangganya yang menyahut, "Duka sedang mudik! Pergi mencari sesosok gadis bertahi lalat di pundak. Matanya dua, hidungnya satu."
Aku mengerjapkan mata.
"Namanya Watu."
Itu kan aku.
Aku mutung, balik badan lalu pulang.
Sekali waktu dulu Duka suka berkunjung ke rumah.
Makannya banyak.
Kubelanjakan ia emosi banyak sekali.
Ia doyan ngemil perasaan, minumnya es teh leci.
Setelah Duka pulang, ibuku memunguti ceceran sepi.
"Mau-maunya dibikin tekor!" omelnya sesekali, sambil bungkuk lalu berdiri. Terus begitu ia ulangi.
Karena ibu hanya melihat benefit dari sebuah situasi, maka kujawab saja, "Aku jadi rajin berdoa dan menulis puisi."
"Kalau begitu, besok Duka akan ibu adopsi."
-------
Hari ini selarik Whatsapp datang.
Rupanya Duka baru turun bis, jenuh melipat kaki.
Katanya ia baru eling nomor teleponku yang bisa dihubungi.
"Persahabatan kita batal. Kalau mau, mari berkenalan ulang!"
Aku tergeragap gembira.
Aku balas, "Akhirnya...."
"Aku bawa sepupu dari kampung. Namanya Murung."
"Kau gila? Memangnya dia bisa apa?"
"Keahliannya mengolah pilu."
"Itu baru contoh baik urbanisasi. Datang dengan skill mumpuni. Serahkan CV-nya padaku."
Duka mengucap terima kasih dengan cara berbela sungkawa.
Aku tersenyum puas.
Sungguh manusia bisa berguna bagi sesamanya.
Sungguh layak dan sepantasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H