Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sandi Simpul

22 Juli 2016   15:39 Diperbarui: 22 Juli 2016   15:52 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ini seperti simpul. Tidak bisa kamu ikat betul.
Beritahu keputusanmu ketika kamu paham artinya.
Apakah kamu yakin ingin hidup bersama seorang yang menyerupai simpul
?”

Ketiga kalimat itu sontak muncul dalam kepala Lastri sejak ia menerima telepon Prama dari tepian Port of Eden.

Bulan lalu, di Sunda Kelapa.
Itu adalah pertemuan antara dua orang yang bernegosiasi tentang hari tua. Sang lelaki benci pada dirinya sendiri yang menurutnya mirip sebuah simpul dasar. Padahal lelaki tersebut seorang pelayar. Tidakkah pelayar sudah akrab membuat simpul? Mengapa pula pelayar harus benci terhadap apa yang sehari-hari dibuatnya?

--------

Lastri mengulum sendu di lokasi yang sama.

Menggantung kaki di buritan perahu nelayan yang parkir menanti senja.

Ia menggenggam tali polyester dan buku tali temali.

Pikirannya mengutuk. Ia belum juga memecahkan makna di balik sebuah simpul, di balik sandi yang disebut kekasihnya.

Tiga jam.

Lastri berhasil membuat simpul dengan jangkar kecil di ujungnya. Ia lirik bukunya, dan betapa herannya dia, di situ ada sebuah kalimat yang selama ini luput dari perhatiannya:

Simpul dalam pelayaran adalah ikatan sederhana.
Mudah dibuat dan mudah dibuka, sehingga akan memudahkan pelayar melepaskan atau mengencangkan ikatan dalam situasi darurat.

Lastri terpaku lama, berdiri, menatap buih di kejauhan.

Ia ulurkan tangannya.

Jemarinya menggenggam simpul pangkal.

Apakah kamu yakin..” suara itu kembali bertanya dalam kepalanya.

Lastri membuka genggamannya.

Simpulnya jatuh, berenang-renang.

Matanya basah.

Telepon Lastri berdering. Prama.

Tri... sudah lebih tenang? Jenazah Haris dibawa ke Jakarta besok.”

Port of Eden.

Haris memilih tempat yang indah untuk lepas.

Terlalu cepat ia terurai.

Seperti simpul.

Ilustrasi: wpwide.com
Ilustrasi: wpwide.com
*Cerpen pernah diikutsertakan dalam Lomba Cerita Mini Bentang Pustaka dengan Tema 'Kapal'
Pemuatan ulang di Kompasiana dilakukan dengan beberapa perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun