Dukungan perusahaan terhadap ibu pekerja juga masih terbilang minim. Hanya sebagian kecil perusahaan menyediakan ruang khusus menyusui atau ruang merawat anak bagi ibu pekerja yang ingin membawa anaknya ke kantor.Â
Sementara itu, cuti bagi ibu pekerja hanya diberikan selama 3 bulan. Padahal, para ibu didorong untuk menyusui anaknya secara ekslusif hingga 6 bulan lamanya.
Belakangan ini memang ada wacana untuk memberikan tambahan cuti ibu melahirkan hingga 6 bulan. Rancangan aturan ini tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Bab 2 Pasal 4 ayat 2a dan b yang berbunyi, "Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan, mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran."
Aturan tersebut masih terus dikaji dan dipertimbangkan oleh pemerintah mengingat adanya potensi diskriminasi yang timbul terhadap perempuan yang akan/telah masuk ke dunia kerja.Â
Aturan tersebut berpotensi menyebabkan perusahaan lebih mengutamakan untuk merekrut tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan.Â
Di sisi lain, memberikan kesempatan bagi ibu pekerja untuk menyusui anaknya secara ekslusif hingga 6 bulan akan penting bagi pertumbuhan kembang tumbuh anaknya dan lahirnya generasi emas di masa mendatang. Â
Tak semua perusahaan juga menyediakan tempat dan waktu bagi ibu pekerja untuk melakukan pumping di sela waktu bekerja. Padahal, ASI perlu dikeluarkan secara kontinu setiap dua jam.Â
Berbagai permasalahan kesehatan akan muncul bila ibu menyusui tidak mengeluarkan produksi ASI-nya adalah  memicu tubuh menurunkan produksi ASI, bengkak payudara yang disebabkan penyumbatan saluran ASI, risiko mastitis (infeksi saluran payudara), dan radang payudara.
Sayangnya, dunia kerja saat ini masih belum menyediakan solusi bagi ibu pekerja yang ingin mendapatkan kesempatan untuk menyusui dan merawat anak sekaligus bekerja dengan optimal.Â