Mohon tunggu...
wida nafis
wida nafis Mohon Tunggu... -

Manhaj Mutaqoddimun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskusi Tentang "Dekonstruksi" Tafsiir dalam Islam

7 Juni 2010   22:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KE:
Berbeda dengan metode pendekatan kalangan yang berparadigma tekstual, alias kaum tekstualis, yang menganggap ayat adalah sesuatu yang harus didekati secara normatif dan tekstual, akhirnya penfsiran yang dihasilkan adalah rigid dan kaku, lalu jika penafsiran itu digunakan dalam metode pencarian hukum yang muncul adalah produk hukum yang juga rigid.

WN:
Bisakah anda kasih bukti, contoh mana yang anda klaim penafsiran dan produk hukum yang kaku itu? Seperti apa?

KE:
Lalu produk rigid itu diaplikasikan dalam ranah praksis, maka yang terjadi adalah tindakan2 otoriter yang mengkooptasi otoritas dan otentisitas, yang menyapu segala bentuk penafsiran-penafsiran yang berbeda

WN:
Tidak semua penafsiran bisa diterima, dan tidak semua penafsiran harus ditolak. Penafsiran yang dipandu oleh ideologi tertentu dan interpretasi yang dipaksakan untuk menjustifikasi suatu kepentingan tentu sulit untuk diterima.

Sekali lagi, ide maupun aksi dalam Islam kita tidak boleh bebas, semuanya ada tolok ukurnya. Yakni Tradisi Sunnah tadi. Ini tidak bisa disebut OTOLITER.

Penentuan Aksi itu juga mempertimbangan posisi sosial dan
politik kita. Ketika kita berposisi sebagai "hakim/qadhi" tentu berbeda dengan ketika kita berposisi sebagai masyarakat biasa. Begitu juga antara "Pemerintah" dengan "Rakyat". Semua ini banyak dikaji dalam Ahkam Sulthoniyyah, Siyasah Syar'iyyah, Fiqhul Ifta', dan Fiqhud Da'wah.

Seringnya, seseorang bertindak tanpa mempertimbangkan
posisinya. Di situlah biasanya kerunyaman itu muncul, termasuk tindakan OTOLITER yang anda maksudkan.

Misalnya seorang "da'i" yang berposisi sebagai "qadhi". Ini bahaya. Dan poin inilah yang sangat diperhatikan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Makanya namanya adalah "Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah". Ahlus Sunnah berarti "konsisten pada kebenaran", dan Ahlul Jamaa'ah berarti "menjaga keutuhan Umat".

Intinya, sebuah tindakan hanya bisa disebut OTOLITER maupun "kriminil" jika memang
"tidak legal" atau tidak dilakukan oleh "pihak yang berwenang". Dalam konteks diskusi "penafsiran" ini "pihak yang berwenang" itu ya pemahaman yang Otoratif yakni Tradisi Sunnah.

Demikian,

WN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun