Kontradiktif misalnya dalam proyek "Naqd al Aql al Arabi"nya al-Jabiri yang membuang "metafisika" dalam pembacaan Nash dan menggantikannya dengan "akal". Ini sama saja mendevaluasi dan "membongkar" paksa istilah-istilah yang sangat fundamental dan mapan seperti surga, neraka, kenabian, wahyu, dst. Ketika kita membuang dan mendekonstruksi term-term tadi ya sama saja "melenyapkan" otentitas Islam sendiri, sehingga tidak ada lagi tersisa....apa layak hasil kajian yg seperti itu disebut Islami?.
Terlebih lagi "Akal" yang dipakai oleh al-Jabiri itu adalah akal positivisnya ala Rasionalisme abad Pencerahan di Barat. Padahal Rasionalisme abad Pencerahan itu sendiri saat ini sedang mendapat kritikan tajam, bukan hanya dari kalangan ilmuwan Muslim tapi juga dari kalangan intelektual Barat sendiri.
Parahnya lagi al-Jabiri mengadopsi dua metodologi yang saling "bertentangan", Ia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani. Disisi lain dia meminjam teori epistemological rupture (keterputusan epistemology) nya Bachelard, sebuah teori yang sebenarnya digunakan untuk membaca sejarah dan filsafat Sains.
Ini sebuah cara "bunuh diri" yang al-Jabiri tidak sadari.
Adalah aneh jika kemudian konsep yang absurd ala al-Jabiri ini kok malah dijadikan contoh dalam "mendekonstruksi" tradisi tafsiir.
KE:
Persoalan metode dan pendekatan yang digunakan dalam paradigma kontekstual juga beragam, ada sosiologis, historis, etnografis, dsb.
WN:
Tak masalah anda mau membawa paradigma apa saja dalam penafsiran atas Nash. terpenting dalam tataran ini adalah "ketajaman analisa" dan "kekuatan argumentasi"-nya. Bukan "gaya" dan "model"-nya.
Metode pembacaan secara "kontekstual" memang berbeda dengan pembacaan secara "tekstual". Akan tetapi titik perbedaannya terletak pada gaya, sistematika, dan alur pandang. Bukan pada hakekat kesimpulan. Jadi mau dibaca dari sisi manapun, substansi, narasi realitas dan historisnya tidak akan berubah.
Yang jadi masalah adalah jika pembacaan dengan metode-metode diatas ternyata terbukti hanya untuk memandu satu "kepentingan", bisa jadi kepentingan itu adalah kepentingan metodologi. Jadi mengkaji Nash bukan dengan semangat menemukan hakikat, realitas dan substansi secara benar namun hanyalah mengkaji untuk metodologi (supaya bisa dipakai).
Ini jelas keluar dari semangat Tradisi Sunnah yang parameternya adalah Ar-Rasuul wa Sabiilul Mu'miniin. Jika ini dipaksakan, maka yang terjadi adalah "pembumi-hangusan" Islam, sebab secara orisinalitas tidak ada lagi yang namanya Islam. Yang ada hanyalah Islam menurut kepentingan metodologi (sosiologis, historis, etnografis). Ini sama saja Pseudo-Islam !
Jadi dunia akan diputar 180 derajat (atau kurang atau lebih). Al-Quran dan penjelasan Nabi dibalik statusnya menjadi 'terdakwa' yang diadili, sedangkan konsep-konsep Barat diberi status sebagai hakim yang mengadili. Sang filsuf menjadi jaksa penuntutnya. Ini pola klasik yang tersubur-lestari sampai zaman sekarang di kalangan para pemikir liberal dan pengkaji sekular yang terkesima oleh filsafat-filsafat diabolik dan teori-teori orientalis.
Sehingga, kini Hadits Nabi saw bahwa Islam awalnya adalah gharib dan akan kembali gharib pun telah terbukti. Kini Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, dengan terminologi asing.