“Lucu sekali kata yang lain.”
Sambil berkata dan mengerubungiku mereka tak jarang memasukkan uang ke dalam saku bajuku. Bahkan bermacam buah-buahan dan kue jajanan pasar memenuhi tas sekolahku. Ketika perjalanan pulang ke rumah hari itu ibu mampir ke tukang kayu, ibu membelikan aku mainan mobil-mobilan dari kayu, kayu pohon waru. Sambil mengayuh sepeda ibu menghiburku.
Katakan padaku hai tukang kayu
Bagaimana caranya memotong kayu
Lihat-lihat, lihatlah anakku
Beginilah caranya memotong kayu
Sesampai di rumah betapa gembiranya aku. Buah-buahan dan kue memenuhi tasku. Uang pemberian teman-teman ibu tersimpan di saku baju dan punya mobil-mobilan dari kayu.
Sorenya aku ikut ayah dan ibu ke pengajian kampung. Ustadz Bejo saat itu menjelaskan tentang sosok ibu dengan sesekali melucu. Orang-orang terhibur. Terkadang juga sedih sehingga orang-orang menitikkan air mata.
Ustadz Bejo menceritakan penderitaan ibuku ketika mengandung dan melahirkanku. Katanya aku hanya tujuh bulan berada di perut ibuku. Ibuku sangat kesulitan saat melahirkanku. Air mata membasahi wajahnya, keringat bercucuran, kaki dan tangan meregang, tetapi aku belum lahir juga. Orang-orang kampung berdoa, kedua tangan ibuku memegang amben (tempat tidur) sekuat tenaga. Orang-orang mengatakan aku terlahir prematur. Tubuhku kecil mungil membuat iba orang yang melihatku. Ibuku sedih dan menangis sejadi-jadinya. Tak percaya jika aku anak yang baru saja dilahirkannya. Mbah Marto sesepuh kampung menghibur ibuku.
“Sabar Jum, anakmu akan hidup.”
“Darimana Mbah Marto tahu?”