Di Stasiun Tugu, senja langit memerah. Semburat warna emasnya menghibur hati Pak Guru Jono. Guru muda itu galau memikirkan masa depannya. Dua tahun sudah ia bekerja sebagai guru honorer di kampung. Sawah sepetak milik orangtuanya tak mampu lagi menghidupi keluarga. Jika panen datang harga gabah turun serentak. Entah apa sebabnya. Jika musim tanam padi pupuk harganya selangit. Ia berniat merantau.
Di Stasiun Tugu satu jam berlalu ia menunggu. Menunggu kereta berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta. Suara adzan Maghrib berkumandang. Guru muda itu bergegas ke tempat wudhu. Ia shalat Maghrib berjamaah di musholla Stasiun Tugu.
Kereta api Senja Utama tiba. Mengangkut penumpang menuju Jakarta. Penumpang berhamburan saling serobot tak karuan. Penumpang, pedagang, pengamen adu cepat. Kuli-kuli panggul tak mau kalah. Anak-anak kecil menangis karena sumpek dan gerah. Guru muda iu perlahan memasuki gerbong 8.
“Permisi Dik, apakah bangku sebelah nomor 9?”
“Iya betul Mas, silakan!”
Guru muda itu meletakkan tas dan gitar kecilnya ke bagasi di atas tempat duduknya. Ia duduk bersebelahan dengan gadis manis berambut panjang. Suara peluit berbunyi keras dan memekakkan telinga pertanda kereta segera berangkat.
Guru muda itu membuka majalah Anita Cemerlang. Majalah yang memuat cerita-cerita romantis. Sesekali bola matanya melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. Ingin ia menyapa, tapi tak kuasa.
Satu jam kereta berlalu. Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang.
“Maaf Dik, saya ijin shalat Isya’ ya?”
“Di mana shalatnya Mas?”
“Ya di sini, di tempat duduk ini.”