Laut Cina Selatan atau lebih sering disebut dengan LCS merupakan satu perairan yang letaknya sangat strategis dengan sumber daya alam dan hasil laut yang melimpah serta memiliki nilai komoditas yang besar yang dapat mencapai triliunan Amerika US Dollar.
Konflik yang disebabkan karena LCS ini awalnya sudah terjadi sejak tahun 1947 yang dimulai dengan adanya klaim sepihak dari China atas Laut Cina Selatan dengan didasari dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line. Setelah adanya klaim sepihak tersebut, untuk menegaskan kembali klaimnya China bergerak lagi dengan lebih agresif, yaitu membangun fasilitas militer, mendirikan pulau buatan, dan menempatkan kapal-kapal perang yang mereka miliki di wilayah tersebut.
Atas tindakannya yang agresif rupanya justru memicu adanya ketegangan dengan negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Ketegangan yang dipicu oleh China ini kemudian menimbulkan kelima negara tersebut juga turut mengklaim bahwa 2 pulau serta sebagian wilayah yang berada di Laut Cina Selatan, Kepulauan Spratly dan Kepulauan Scarborough Shoal, adalah milik mereka.
Klaim yang dikatakan oleh China dan juga kelima negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan ini kemudian berarti bahwa Laut Cina Selatan kini menjadi rebutan bagi beberapa negara hingga akhirnya pada tahun 2010 Indonesia ikut terseret dalam klaim tersebut hingga akhirnya titik puncaknya berada pada tahun 2016 dimana Indonesia mendapati kapal asing milik China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di Perairan Natuna.
Penangkapan ikan secara ilegal di Perairan Natuna ini bersinggungan dengan tiga kepentingan nasional Indonesia, yaitu dari sisi pertahanan yang dimana mencakup akan kedaulatan wilayah Indonesia, lalu sisi ekonomi yang mencakup hak-hak pemanfaatan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan dari sisi tatanan dunia yang mencakup penjagaan kawasan sebagai jalur perdagangan internasional.
Mengenai Perairan Natuna, sebenarnya perairan ini telah diatur oleh PBB melalui hukum internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) melalui United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) bahwa Perairan Natuna Utara yang berada di dekat Laut Cina Selatan adalah milik Indonesia.
Dengan masuknya kapal asing China, jika dilihat melalui UNCLOS, China sudah melanggar ZEE Indonesia atas klaim wilayahnya yang berpotongan dengan sebagian ZEE di utara Natuna dan China turut mengklaim bahwa Perairan Natuna yang dilewati oleh nelayan dan kapal Coast-Guardnya di ZEE Indonesia merupakan milik China, tanpa melalui UNCLOS, dengan didasari nine-dash line.
Adanya klaim sepihak China atas Perairan Natuna di Laut Cina Selatan ini juga diikuti dengan upaya China, yaitu dengan melakukan reklamasi dan membangun fasilitas militer di pulau yang berada di Laut Cina Selatan. Melihat upaya China hingga seperti itu respon yang diberikan Indonesia adalah dengan menerapkan strategi hedging.
Diterapkannya strategi hedging ini dinyatakan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, selaku menkopolhukam, dengan “Indonesia akan menjaga hubungan baik dengan China sembari menjaga kedaulatan”.
Diputuskannya strategi hedging sebagai respon Indonesia atas klaim perairan Natuna ini dikarenakan adanya rasa dilema yang dirassakan Indonesia atas hubungan ekonomi yang dimiliki Indonesia dengan China yang berfokus pada perdagangan dan investasi (fokus kepada pembangunan infrastruktur dan pertambangan).
Mengapa Indonesia tidak memilih strategi balancing ataupun bandwagoning?