hidup, serta tekanan sosial yang sering kali membuat kita merasa tidak cukup baik.
Sebagai eks penyintas fase quarter-life crisis, saya tahu betul bagaimana perasaan terjebak di antara pencapaian yang diharapkan dan realitas yang kadang tak sesuai dengan impian. Fase ini adalah masa yang penuh dengan pergolakan batin, keraguan akan arah
Kini, sebagai karyawan baru (meski sudah tidak baru sekali) di salah satu kantor di bilangan Jakarta Selatan, saya menemukan sudut favorit di tempat kerja ini: perpustakaan kecil di lantai satu. Di tengah kesibukan dunia kerja yang sering kali terasa monoton dan penuh tekanan, ruang ini menjadi pelarian yang menyenangkan. Bukan untuk melarikan diri dari tanggung jawab, tetapi untuk menemukan kembali ketenangan dan merefleksikan perjalanan hidup.
Di sinilah saya menemukan buku Mantra Kehidupan karya Agung Setiyo Wibowo, sebuah buku yang menjadi teman dalam perenungan. Buku ini mengajak pembacanya untuk memahami diri sendiri, terutama saat menghadapi fase quarter-life crisis yang kerap melanda generasi muda.
Quarter-Life Crisis dan Tantangan Fresh Graduate
Buku ini diawali dengan dialog yang membahas fenomena fresh graduate syndrome, di mana lulusan baru merasa bingung menentukan arah hidup setelah menyelesaikan pendidikan. Saya pun pernah berada di posisi tersebut.
Sebagai bagian dari generasi sandwich, mengambil gap year untuk sekadar mencari jati diri bukanlah pilihan yang bisa saya ambil. Tanggung jawab terhadap keluarga memaksa saya untuk segera terjun ke dunia kerja. Mendapatkan pekerjaan di bidang riset dan pemerintahan adalah pencapaian besar bagi saya saat itu, tetapi pencapaian tersebut tidak serta-merta menghapus kegelisahan yang saya rasakan.
Seperti banyak lulusan baru lainnya, saya merasa tidak percaya diri dengan pencapaian yang saya miliki. Media sosial memperburuk keadaan ini. Di sana, setiap orang berlomba-lomba memamerkan pencapaian mereka, mulai dari pekerjaan impian hingga gaya hidup yang terlihat sempurna. Saya pun terjebak dalam siklus membandingkan diri dengan orang lain, yang perlahan-lahan menggerogoti rasa percaya diri dan kebahagiaan saya.
"Comparison is the thief of joy," kata Theodore Roosevelt. Kutipan ini begitu relevan, karena perbandingan yang konstan membuat kita kehilangan rasa syukur dan kebahagiaan atas apa yang sudah kita miliki.
Mantra Kehidupan: Cuek dan Menemukan Diri
Dalam Mantra Kehidupan, Agung Setiyo Wibowo menawarkan beberapa mantra sederhana yang bisa membantu kita menghadapi krisis ini. Salah satu mantra yang berkesan bagi saya adalah cuek. Tapi jangan salah paham---cuek di sini bukan berarti acuh tak acuh terhadap segalanya, melainkan memilih untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan mengabaikan hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Penulis buku ini tidak hanya memberikan teori, tetapi juga menyajikan cerita dan wawancara dengan berbagai individu yang pernah mengalami krisis serupa. Pendekatan ini membuat pembaca merasa terhubung secara emosional dengan kisah-kisah tersebut. Kita diajak untuk melihat bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi kegelisahan ini.
Namun, yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana buku ini mengajarkan bahwa terkadang solusi untuk menghadapi krisis adalah dengan kembali ke akar, menemukan makna dalam hal-hal sederhana yang sering kita abaikan.
Pulang ke Desa: Menemukan Makna dalam Kesederhanaan
Ketika saya merasa lelah dengan siklus perbandingan dan tekanan hidup di kota, saya memutuskan untuk pulang ke desa---tempat asal istri saya. Di sana, saya menemukan realitas yang berbeda. Banyak orang yang hidup dalam kondisi ekonomi yang jauh lebih sulit, namun mereka tetap bisa menjalani hidup dengan senyuman.
Pengalaman ini membuat saya belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari pencapaian besar. Kadang, kebahagiaan itu hadir dalam bentuk rasa syukur atas hal-hal kecil yang kita miliki.
Seperti yang dikatakan oleh Dalai Lama, "Happiness is not something ready-made. It comes from your own actions." Di desa, saya menemukan kebahagiaan melalui interaksi sosial yang nyata---berbicara langsung dengan warga, mendengarkan cerita mereka, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Tidak perlu klik tombol like atau sibuk scrolling media sosial. Semua terasa lebih nyata dan membangkitkan kembali jiwa sosial yang selama ini terkubur oleh dunia digital.
Refleksi: Menemukan Mantra Kehidupan Sendiri
Setelah melewati fase quarter-life crisis, saya menyadari bahwa setiap orang memiliki mantra kehidupan mereka sendiri. Buku ini memberikan panduan, tetapi pada akhirnya, kita sendirilah yang harus menemukan jalan keluar dari kegelisahan.
Beberapa pelajaran yang saya ambil dari pengalaman pribadi dan dari buku ini adalah:
1. Berhenti membandingkan diri dengan orang lain.
Kebahagiaan tidak bisa diukur dengan pencapaian orang lain. Fokuslah pada perjalanan hidup kita sendiri.
2. Temukan makna dalam hal-hal sederhana.
Kebahagiaan bisa ditemukan dalam interaksi sosial, rasa syukur, dan kesederhanaan hidup.
3. Jalani hidup dengan kesadaran penuh.
Seperti yang dikatakan Eckhart Tolle, "The primary cause of unhappiness is never the situation, but your thoughts about it." Hidup dengan kesadaran penuh akan membantu kita menghadapi tantangan dengan lebih bijak.
4. Berani menerima diri sendiri apa adanya.
Dalam dunia yang terus berubah, kemampuan untuk menerima dan mencintai diri sendiri adalah kunci untuk menjalani hidup yang bermakna.
Kesimpulan: Krisis adalah Awal dari Pertumbuhan
Fase quarter-life crisis bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, itu adalah titik balik yang bisa menjadi awal dari pertumbuhan dan perubahan positif. Seperti yang dikatakan oleh Steve Jobs, "You can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backward."
Setiap pengalaman, baik yang manis maupun yang pahit, memiliki peran dalam membentuk diri kita yang sekarang. Dan perjalanan untuk menemukan diri sendiri tidak akan pernah berakhir.
Perpustakaan kecil di sudut kantor saya mungkin hanyalah tempat sederhana. Tetapi di sana, saya menemukan sebuah buku yang membantu saya memahami bahwa hidup adalah tentang perjalanan, bukan tujuan. Dan setiap langkah kecil yang kita ambil, termasuk menghadapi krisis, adalah bagian dari proses untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H