Menjelang Pilkada serentak, Kabupaten Bogor menjadi salah satu daerah yang menarik perhatian, baik dari masyarakat lokal maupun pengamat politik. Meskipun Kabupaten Bogor memiliki potensi besar, baik di sektor pertanian, pariwisata, dan industri, ketimpangan pembangunan yang terjadi antar wilayah masih menjadi masalah yang belum tuntas.
Kabupaten Bogor yang terbentang luas dari wilayah pusat hingga timur, memiliki ketimpangan mencolok antara kawasan yang lebih berkembang seperti Cibinong dan Sentul, dengan wilayah yang masih tertinggal seperti Sukamakmur.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh kurangnya perhatian terhadap masalah infrastruktur dasar seperti transportasi, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perbankan di wilayah pinggiran.
Sebagai warga Sukamakmur, saya merasa bahwa selama ini kami belum merasakan kehadiran Pemkab dalam bentuk yang nyata. Wilayah kami, meskipun memiliki kontribusi besar terhadap APBD Kabupaten Bogor, terabaikan dalam banyak aspek.Â
Salah satu isu paling mendesak yang kami hadapi adalah minimnya lapangan pekerjaan, terutama untuk tenaga kerja yang sudah memiliki keterampilan dan sertifikasi. Banyak generasi muda Sukamakmur yang akhirnya harus merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta atau Depok demi mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.
Hal ini sangat disayangkan, mengingat jika Pemkab dapat memfokuskan pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor industri yang relevan, banyak potensi lokal yang bisa diberdayakan untuk menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.
Dalam debat calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Bogor yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta pada minggu lalu, tema besar yang diangkat oleh pasangan calon seperti Rudy-Jaro dan Bayu-Mus lebih banyak berkutat pada isu pembangunan infrastruktur dan pemerintahan yang bersih.Â
Rudy-Jaro, misalnya, mengusung program untuk mengurangi kemiskinan dengan mencetak 10 ribu wirausaha baru, serta berfokus pada pemberdayaan sektor ekonomi. Di sisi lain, Bayu-Mus menyoroti pentingnya peningkatan kualitas pelayanan publik, dengan menekankan pembangunan infrastruktur dan layanan kesehatan di tingkat desa.
Namun, meskipun visi dan misi yang diusung oleh calon bupati dan wakil bupati ini tampaknya cukup menarik, sebagian besar kritik yang muncul dari masyarakat adalah kurangnya rincian tentang bagaimana masalah ketimpangan pembangunan akan diatasi.Â
Salah satu isu yang sering terabaikan adalah wilayah timur Kabupaten Bogor, seperti Sukamakmur, yang meskipun memberikan kontribusi signifikan pada APBD melalui sektor pertanian dan pariwisata, masih terhambat oleh keterbatasan infrastruktur dasar.Â
Akses terhadap transportasi yang layak, fasilitas kesehatan yang memadai, dan pendidikan yang berkualitas menjadi masalah besar yang dihadapi oleh warga di daerah ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa isu ketimpangan ini semakin menjadi perbincangan karena semakin meningkatnya kesenjangan sosial antara wilayah pusat dan pinggiran. Hal ini juga terpengaruh oleh adanya disparitas dalam hal pemerataan pembangunan.Â
Bahkan, meskipun beberapa kandidat berjanji untuk memperbaiki kondisi ini, tidak ada satu pun dari mereka yang memberikan solusi yang jelas mengenai bagaimana cara memecahkan ketimpangan tersebut.Â
Dalam teori ekonomi pembangunan, Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan tidak hanya mengenai angka-angka ekonomi, tetapi juga tentang pemerataan peluang dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ketimpangan yang semakin membesar, jika tidak segera ditangani, akan memperburuk keadaan sosial dan memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin.
Selain ketimpangan sosial, isu agama, budaya, dan pendidikan juga sering muncul dalam debat. Calon-calon bupati berusaha merangkul berbagai kelompok masyarakat yang ada, mengingat pentingnya menjaga kerukunan antar agama dan suku. Meskipun demikian, isu-isu sensitif ini sering kali digunakan lebih untuk menarik dukungan, bukan untuk memberikan solusi yang konkret terhadap masalah yang ada.Â
Dalam masyarakat Kabupaten Bogor yang mayoritas beragama Islam, dengan keberagaman budaya dan etnis, calon pemimpin daerah harus mampu menyeimbangkan antara pembangunan yang inklusif dan menjaga keharmonisan antar golongan. Namun, sejauh ini, belum terlihat adanya pembahasan yang cukup mendalam mengenai bagaimana calon bupati akan mengelola keberagaman ini dalam kebijakan pembangunan yang merata.
Beberapa pakar ekonomi pembangunan, seperti Jeffrey Sachs, dalam bukunya The End of Poverty, mengemukakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi yang tidak teratasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.Â
Oleh karena itu, menurut Sachs, kebijakan yang lebih inklusif dan pemerataan pembangunan sangat diperlukan untuk mengurangi kesenjangan antara daerah yang maju dan tertinggal.Â
Tanpa kebijakan yang berfokus pada pemerataan dan pembangunan daerah yang tertinggal, wilayah seperti Sukamakmur akan terus merasa terabaikan meskipun mereka memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi daerah.
Pada akhirnya, masyarakat Kabupaten Bogor, terutama yang tinggal di wilayah pinggiran, sangat berharap agar calon pemimpin daerah benar-benar memperhatikan permasalahan ketimpangan pembangunan dan memberikan solusi yang lebih terperinci dan dapat diimplementasikan.Â
Menjanjikan pemerataan tanpa ada langkah konkret untuk meningkatkan infrastruktur dan kualitas hidup masyarakat di daerah yang kurang berkembang hanya akan menjadi lip service belaka.Â
Visi yang terlalu luas tanpa aksi nyata tidak akan membawa perubahan yang diharapkan. Oleh karena itu, Pilkada kali ini menjadi ujian bagi calon pemimpin untuk benar-benar mendengarkan kebutuhan masyarakat dan memberikan jawaban yang sesuai dengan kondisi di lapangan.
Sebagai penutup, Albert Hirschman, seorang pakar ekonomi, dalam teorinya mengenai pembangunan ekonomi menegaskan pentingnya memperhatikan ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan akses terhadap layanan publik.Â
Ketimpangan yang tidak diatasi dengan baik akan berpotensi menyebabkan ketidakpuasan sosial yang lebih besar, yang pada gilirannya dapat menghambat kemajuan daerah secara keseluruhan.Â
Oleh karena itu, Kabupaten Bogor memerlukan pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang visi besar, tetapi juga mampu memberikan solusi nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Referensi:
1. Kuznets, S. (1955). "Economic Growth and Income Inequality". The American Economic Review.
2. Sen, A. (1999). "Development as Freedom". Oxford University Press.
3. Sachs, J. (2005). "The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time". Penguin Press.
4. BPS Kabupaten Bogor (2023). "Statistik APBD Kabupaten Bogor".
5. Hirschman, A. (1958). "The Strategy of Economic Development". Yale University Press.
6. iNews Bogor (2024). "Debat Terbuka Paslon Bupati dan Wakil Bupati Bogor: Isu Infrastruktur dan Kesejahteraan Masyarakat". iNews.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H