Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bebas

Suka olahraga lari, jalan kaki atau sepeda deket - deket aja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritiklah Jika Dirasa Benar!

17 Oktober 2024   19:29 Diperbarui: 17 Oktober 2024   19:31 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Seorang Penulis: Antara Kritik, Etika, dan Tanggung Jawab Sosial

Pagi tadi, sebelum saya berangkat ke kantor, saya menerima pesan dari seorang kawan. Pesan tersebut berisi saran yang lebih mirip dengan kritik halus terkait tulisan-tulisan saya belakangan ini. Dia menyarankan agar saya mempertimbangkan pendekatan yang kurang "frontal" dalam mengkritik kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Pesannya menyinggung bahwa kritik saya dianggap terlalu keras, dan mungkin kurang sesuai dengan norma-norma masyarakat yang cenderung homogen dan sensitif terhadap perbedaan pandangan.

Saat membaca pesan itu, saya memutuskan untuk bermuhasabah---merefleksikan kembali seluruh tulisan saya, terutama yang dianggap terlalu agresif. Di sela-sela refleksi itu, saya juga sempat membalas pesan kawan saya tersebut, sebagai bentuk apresiasi atas perhatian dan kepeduliannya. Dalam pesan balasan saya, pertama-tama saya mengucapkan terima kasih. Kritis terhadap kebijakan pemerintah bukanlah hal yang ringan, apalagi dalam lingkungan yang kerap kali lebih menghargai keselarasan ketimbang keberanian untuk bersuara berbeda. Kawan saya mengingatkan bahwa kritik harus disampaikan dengan hati-hati, terutama di ruang publik, agar tidak menimbulkan resistensi yang berlebihan.

Kritik Sebagai Tanggung Jawab Moral

Saya kemudian menjelaskan bahwa tujuan saya menulis, baik di media sosial maupun media massa, bukanlah untuk menarik perhatian atau kontroversi. Tulisan-tulisan saya muncul dari keresahan yang nyata, terutama dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang menurut saya sering kali tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Bagi saya, menulis adalah bentuk perlawanan non-violence, suatu medium untuk menyuarakan ketidakadilan tanpa harus terjebak dalam anarkisme. Ini adalah cara saya untuk memberikan kontribusi yang konstruktif, dibandingkan hanya merutuki dalam diam tanpa tindakan.

Pengalaman bekerja di berbagai sektor, baik di pemerintahan, lembaga donor, maupun lembaga riset, telah memberi saya wawasan mendalam tentang bagaimana sistem bekerja. Saya menyaksikan langsung kebobrokan manajemen data dan kurangnya akuntabilitas dalam pengelolaannya. Data, yang seharusnya menjadi pilar kebijakan publik yang objektif, sering kali dimanipulasi untuk menjaga citra. Sebagai seseorang yang sangat peduli pada integritas data, melihat pemerintah daerah dengan sengaja "mempercantik" data untuk Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebuah ironi besar yang membuat saya semakin kritis.

Menghadapi Tekanan: Prinsip atau Kenyamanan?

Bergabung dengan lembaga-lembaga think tank di Indonesia membuka mata saya terhadap kompleksitas kebijakan publik, khususnya dalam hal pengelolaan data dan pemanfaatan sumber daya yang terbatas. Dari sana, saya memahami betapa sulitnya bagi masyarakat untuk mendapatkan data yang akurat tentang hal-hal yang sangat mendasar, seperti kualitas infrastruktur, pendidikan, hingga kesejahteraan sosial. Bukan hanya itu, saya juga menyaksikan bagaimana pejabat daerah sering kali menghindari kritik dan malah mencoba mempengaruhi narasi publik demi keuntungan politik mereka.

Namun, apakah saya merasa gentar ketika dihadapkan pada tekanan untuk membungkam kritik? Tidak. Kritik sering kali dianggap tabu dalam masyarakat kita, di mana nilai-nilai kolektif lebih dikedepankan daripada kebenaran yang mungkin menyakitkan. Banyak orang lebih memilih diam demi menjaga "keharmonisan", meskipun mereka tahu ada yang salah. Saya pernah ditumbangkan oleh kekuatan ini---beberapa kali tulisan saya dianggap "mengganggu", beberapa kali pula saya dipaksa untuk mundur. Tapi saya terus mencoba bangkit, karena saya percaya bahwa kritik yang baik bukanlah serangan, melainkan bentuk tanggung jawab moral.

Membangun Kritik yang Membangun

Menghadapi ancaman berupa undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi, seperti UU ITE, tentu menjadi kekhawatiran tersendiri. Tetapi, apakah kita akan memilih untuk diam? Bagi saya, selama kritik kita didasarkan pada data, fakta, dan etika, maka kita punya kewajiban moral untuk menyuarakannya. Kritik yang membangun tidak seharusnya ditakuti, melainkan dipahami sebagai bentuk dialog sosial yang sehat. Negara yang demokratis seharusnya membuka ruang bagi warganya untuk menyampaikan kebenaran, walaupun pahit.

Di masa depan, harapan saya adalah agar kita semua, baik sebagai individu maupun masyarakat, memiliki keberanian untuk menyampaikan kritik tanpa rasa takut. Demokrasi sejati tidak hanya diukur dari kemampuan untuk mendukung kebijakan, tetapi juga dari kebebasan untuk mengkritisinya. Kita tidak boleh membiarkan rasa takut atau ancaman hukum membungkam suara yang jujur. Selama kita yakin bahwa yang kita sampaikan adalah benar, maka kita harus berani mengatakannya, tanpa perlu ragu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun