Saya sendiri semenjak mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan tersebut memilih untuk tidak berkunjung lagi ke beberapa wisata di Jawa Barat. Bahkan sekalipun saat ini rumah saya juga dekat dengan beberapa lokasi wisata seperti curug, hutan pinus, kedai kopi kekinian pun saya memilih untuk tidak akan berkunjung. Jikalau ada beberapa teman saya yang mengajak, saya tetap dengan pendirian bahwa tidak akan sekalipun menginjakkan kaki ke lokasi tersebut.Â
Saya memilih untuk say no to pungli, bahkan tidak ada niat untuk mewajarkan hal tersebut. Wisatawan ketika sudah membayar tiket atau retribusi dengan jumlah tertentu sudah sewajarnya mendapatkan haknya. Jika memang ada pungutan lainnya akan lebih baik dijelaskan di awal, kalau perlu dipampang di depan pintu masuk bukan dengan mengejar layaknya buronan.
Akhir kata, wisata di Jawa Barat memang masih menyimpan beberapa potensi. Hanya saja pengelolaan yang tidak profesional dari pembebasan lahan, pengurusan izin hingga pembentukan kelompok sadar wisata mutlak diperlukan.Â
Adanya sinergi baik pihak pemerintah dan pihak swasta. Kalau perlu juga melakukan studi banding ke Yogyakarta misalnya dalam pengelolaan wisata, sehingga ke depan pungli-pungli tersebut bisa diberangus sampai ke akar-akarnya.Â
Jika pemerintah sendiri justru abai dan pihak swasta hanya memikirkan keuntungan pribadi tentunya kejadian viral-viral ini justru akan terulang kembali, bahkan bisa jadi nanti akan ada julukan bahwa wisata di Jawa Barat adalah surganya pungutan liar.
Tidak mau kan jika terjadi seperti itu?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H