Beberapa hari ini di media sosial saya sepertinya kompak menampilkan viralnya pungutan liar di salah satu obyek wisata di Jawa Barat tepatnya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).Â
Saat saya melihat video secara detail nampak sekali oknum pelaku tersebut mengejar wisatawan untuk membayar biaya ketika hendak mengambil foto. Namun jika diperhatikan lagi penarikan biaya tersebut tidak resmi.Â
Hal ini dikarenakan pemungutan biaya tersebut tidak disertai dengan kertas atau bukti yang menunjukkan bahwa memang ada pengenaan tarif untuk beberapa biaya yang dimaksud.
Respon warga dunia maya mayoritas dengan mencemooh perilaku tersebut, menyayangkan sekali bahwa pungutan liar di beberapa lokasi wisata di Jawa Barat seakan-akan bukan menjadi perhatian serius oleh pemerintah setempat.Â
Alih-alih mendapatkan perhatian, seringkali juga malah yang ada akan terjadi lempar tanggung jawab entah dengan pengelolaan atau warga yang tidak tahu menahu, hingga sederet alasan biasanya menjadi senjata sakti dalam menghadapi terpaan hujatan netizen. Terakhir saya membaca di salah satu media justru pengelola hanya menyalahkan wisata tidak resmi hingga orang stress. Lho kok begini respon sekelas pengelola wisata?
Ingatan saya kembali pada beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung di beberapa wisata di Jawa Barat. Dimulai dari Gunung Pancar kemudian ke Puncak. Dua lokasi wisata ini juga tak luput dari pungutan liar dengan alasan yang sangat tak masuk akal. Sebagai orang yang lahir dan tinggal selama beberapa tahun berdekatan dengan lokasi wisata, saya sungguh heran dengan pengelolaan wisata di Jawa Barat dengan Yogyakarta.Â
Hal yang berbeda jauh dan nampak sekali gapnya. Jarang sekali saya temui kelompok sadar wisata, pengelolaan yang jauh dari kata profesional, kebersihan yang tidak terjaga sama sekali hingga sederet alasan lainnya membuat saya memilih untuk menghindari berwisata di Jawa Barat. Masih ada provinsi atau daerah tujuan lainnya.
Salah satu dari sekian hal yang tidak mengenakkan ketika berwisata di beberapa tempat tersebut bisa kita ambil contoh. Pungutan liar tersebut tidak main-main, baru saja memasuki lokasi wisata kita sudah membayar tiket resmi namun parkir bahkan sekedar duduk atau foto-foto selfie dikenakan lagi biaya.Â
Saat saya tanyakan secara beruntun, oknum tersebut tidak bisa menjelaskan secara detail. Dalih ada aturan dan kewajiban juga saya tanyakan berulang apakah ada aturan resminya, jika memang ada coba untuk disosialisasikan di awal. Namun oknum tersebut bersikukuh sudah ada aturannya.Â
Sayangnya yang dihadapi adalah orang ngeyel seperti saya maka saya biarkan saja. Ketika akhirnya oknum tersebut menggertak dan beralasan saya bukan orang pribumi (plat motor dijadikan alasan) di situlah kesabaran saya sepertinya juga ikut habis. Niat orang untuk sekadar melepas penat namun bukanlah penat yang lepas justru emosi didapat.Â
Saya sendiri semenjak mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan tersebut memilih untuk tidak berkunjung lagi ke beberapa wisata di Jawa Barat. Bahkan sekalipun saat ini rumah saya juga dekat dengan beberapa lokasi wisata seperti curug, hutan pinus, kedai kopi kekinian pun saya memilih untuk tidak akan berkunjung. Jikalau ada beberapa teman saya yang mengajak, saya tetap dengan pendirian bahwa tidak akan sekalipun menginjakkan kaki ke lokasi tersebut.Â
Saya memilih untuk say no to pungli, bahkan tidak ada niat untuk mewajarkan hal tersebut. Wisatawan ketika sudah membayar tiket atau retribusi dengan jumlah tertentu sudah sewajarnya mendapatkan haknya. Jika memang ada pungutan lainnya akan lebih baik dijelaskan di awal, kalau perlu dipampang di depan pintu masuk bukan dengan mengejar layaknya buronan.
Akhir kata, wisata di Jawa Barat memang masih menyimpan beberapa potensi. Hanya saja pengelolaan yang tidak profesional dari pembebasan lahan, pengurusan izin hingga pembentukan kelompok sadar wisata mutlak diperlukan.Â
Adanya sinergi baik pihak pemerintah dan pihak swasta. Kalau perlu juga melakukan studi banding ke Yogyakarta misalnya dalam pengelolaan wisata, sehingga ke depan pungli-pungli tersebut bisa diberangus sampai ke akar-akarnya.Â
Jika pemerintah sendiri justru abai dan pihak swasta hanya memikirkan keuntungan pribadi tentunya kejadian viral-viral ini justru akan terulang kembali, bahkan bisa jadi nanti akan ada julukan bahwa wisata di Jawa Barat adalah surganya pungutan liar.
Tidak mau kan jika terjadi seperti itu?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H