Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance consultant

Manusia yang selalu berusaha belajar dan belajar dari pengalaman hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kembali ke Desa yang Ternyata Tak Menyenangkan

25 Agustus 2024   07:21 Diperbarui: 25 Agustus 2024   07:23 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pasca tidak bekerja di Jakarta bulan Agustus ini, saya memilih untuk segera pulang ke Bogor tepatnya di Sukamakmur. Sukamakmur mungkin pernah menjadi bagian dari cerita saya di Kompasiana beberapa tahun lalu, waktu itu saya mengkritisi terkait dengan pembangunan infrastruktur yang tidak jelas itu. 

Dan setelah dua tahun menulis tersebut, sampai saat ini pembangunan infrastruktur sekelas jalanan umum saja tak kunjung usai. Padahal jika Anda mencari lokasi - lokasi wisata yang viral di Bogor terutama dengan kata kunci Sukamakmur, Puncak Dua dan beberapa kata kunci lainnya itu banyak sekali pilihan lokasi wisata. Sayangnya ya lagi - lagi pemerintah setempat terutama pemerintah kabupaten lebih memilih mengandalkan pemerintah pusat, kebiasaan disuapi yang tak kunjung berakhir. Melelahkan!

Jika Anda berpikir kembali ke desa mungkin akan menyenangkan, bayangan menikmati alam desa disertai minimnya polusi udara serta jarangnya kemacetan maka Anda harus siap - siap melupakan atau mungkin perlu bangun dengan melihat realita yang ada. Sukamakmur, kecamatan yang saya tinggali sekarang mungkin sudah jauh dari kata ideal untuk istirahat dan juga menenangkan diri ini pasca layoff. 

Cuaca yang makin kesini makin ngawur (panas sekali) karena ruang hijau yang mulai berkurang, polusi dari debu dan juga kendaraan yang makin banyak hingga minimnya kesempatan untuk berkembang baik berusaha mandiri atau bekerja. Berikut ini penjabaran dari pengamatan saya setelah beberapa waktu kembali ke desa yang ternyata tidak menyenangkan juga.

Minimnya Ruang Hijau

Ruang hijau di Sukamakmur selama beberapa tahun ini mengalami transformasi. Pembukaan kavling dan juga marak sekali penjualan kavling untuk ditempati otomatis akan mengubah dari lahan produktif seperti sawah menjadi rumah. Yang dulu biasanya saya dan anak istri bisa melihat sawah atau sejuknya udara di Sukamakmur, kini hanyalah cerita. 

Saat pagi hari seperti ini mungkin masih mending ya sekitar 21 derajat, namun masuk jam 10 pagi hingga jam 12 siang saya sarankan Anda tetap di rumah saja. Cuaca yang mencapai 33 derajat bahkan terkadang lebih membuat siapapun enggan untuk keluar rumah.

Macet, Terutama Weekend

Saat akhir pekan biasanya kita melihat di televisi atau mungkin dari smartphone untuk melihat kemacetan di beberapa lokasi wisata. Hal yang sama juga terjadi di Sukamakmur, pasca pembenahan infrastruktur (meski belum selesai - selesai sampai saat ini) ternyata membuat wisatawan membludak sangat signifikan. 

Rencana pemerintah untuk menggantikan kawasan wisata Puncak di Ciawi dengan di Sukamakmur sebagai Puncak Dua disertai viralnya beberapa lokasi wisata disini praktis membuat kemacetan menjadi hal yang menyebalkan. Sebagai warga di desa ini, saya memilih untuk tetap di rumah saat akhir pekan atau mungkin saat libur hari raya. Kemacetannya luar biasa!

Minimnya Lapangan Pekerjaan Untuk Tenaga Kerja Berpengalaman

Jika Anda sering pulang ke desa, seringkali muncul pertanyaan seperti ini : kenapa banyak sekali anak muda bahkan mungkin yang sudah tua memilih untuk merantau?

Jawabannya tentu saja kembali dengan lapangan pekerjaan yang sangat susah sekali ditemukan di desa. Pentingnya peran pemerintah dalam pemerataan lapangan pekerjaan ternyata hanya sekedar teori, angka pengangguran di desa nyatanya lebih banyak sekali. Usaha pemerintah dengan balai lapangan pekerjaan juga tiada atau tidak nampak, akses untuk menuju lokasi serta jikalau diadakan secara daring pun belum tentu bisa terjangkau ke semua kalangan. Mau buat usaha juga kita harus berpikir dari modal waktu, tenaga hingga uang sementara kebutuhan jalan terus. Lantas bisa apa kita di desa jika minim sekali lapangan pekerjaan?

Saya yang baru beberapa bulan ini kembali menjadi penduduk desa full time (penuh waktu) sembari mencari pekerjaan di desa mengalami hal yang sama. Susah karena minim lapangan pekerjaan, ijazah yang tidak berguna, skill dan kemampuan tidak dibutuhkan di desa otomatis hanya menambah angka pengangguran struktural di Sukamakmur ini. Ternyata kembali ke desa belum tentu menyenangkan, justru makin runyam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun