Mentari pagi menyapa lembut wajah pucat Dilla yang terpantul di cermin usang. Wajahnya dihiasi lingkaran hitam di bawah mata, tanda malam-malam panjang yang dihabiskan untuk meratapi nasib. Matanya yang dulu berbinar kini redup, memantulkan kehampaan yang menggerogoti jiwanya.
Dilla, gadis berusia 22 tahun, terjebak dalam pusaran ketidakpuasan diri. Ia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, merasa dirinya tak cukup cantik, tak cukup pintar, tak cukup menarik. Setiap kekurangan, sekecil apapun, dibesar-besarkan hingga menjadi monster yang menakutkan dalam benaknya.
"Lihat betapa sempurnanya hidup Maya," gumamnya getir, menatap foto Maya, sahabatnya, yang terpampang di majalah fashion. "Cantik, sukses, punya banyak teman. Sementara aku..." Dilla menghela napas panjang, "hanya bayangan redup yang tak berarti."
Hari-hari Dilla dipenuhi dengan rasa iri dan benci pada diri sendiri. Ia menghukum dirinya dengan diet ketat yang menyiksa, memaksakan diri untuk belajar hingga larut malam, dan menjauhi pergaulan karena merasa tak pantas berada di antara orang-orang "sempurna".
Suatu hari, di tengah kesedihannya, Dilla menemukan sebuah kotak tua di loteng rumahnya. Di dalamnya terdapat cermin kecil dengan ukiran bunga yang rumit. Cermin itu retak di salah satu sudutnya, namun anehnya, retakan itu justru memancarkan cahaya lembut yang menenangkan.
Dilla terpaku menatap bayangannya di cermin retak itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat dirinya dengan cara yang berbeda. Ia melihat gadis yang rapuh, terluka, namun tetap kuat bertahan di tengah badai ketidakpercayaan diri. Ia melihat mata yang dipenuhi kerinduan akan penerimaan dan cinta, bukan dari orang lain, melainkan dari dirinya sendiri.
Sebuah suara lembut tiba-tiba bergema di benaknya, "Dilla, kau cantik dengan segala ketidaksempurnaanmu. Kau berharga, kau unik, dan kau layak dicintai, terutama oleh dirimu sendiri."
Dilla tersentak. Suara itu terasa begitu dekat, seolah berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia menatap cermin retak itu dengan penuh rasa ingin tahu. Mungkinkah cermin tua itu memiliki kekuatan magis? Atau mungkin, suara itu adalah suara hatinya yang selama ini terpendam?
Perlahan, Dilla mulai menerima dirinya apa adanya. Ia belajar menghargai setiap kelebihan dan kekurangannya, memaafkan kesalahan-kesalahan masa lalu, dan fokus pada hal-hal positif dalam hidupnya. Ia mulai merawat dirinya dengan lebih baik, bukan untuk memenuhi standar kecantikan orang lain, melainkan karena ia mencintai dan menghargai tubuhnya.
Ia juga mulai berani membuka diri dan bergaul dengan orang lain. Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki keunikan dan ketidaksempurnaan masing-masing, dan tak ada gunanya membandingkan diri dengan orang lain.