Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Impian Johan

12 Januari 2025   06:50 Diperbarui: 12 Januari 2025   06:05 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bangunan tradisional khas Bali oleh Jannet Serhan (www.pexels.com)

Hujan deras mengguyur kota Denpasar, membasahi jalanan aspal dan bangunan-bangunan tradisional khas Bali. Di sebuah kamar kos sederhana, seorang pemuda bernama Johan duduk termenung di tepi jendela, tatapannya kosong menatap butiran-butiran air yang berjatuhan. Secangkir kopi Bali yang telah dingin menemani kesendiriannya, seolah mengerti kegelisahan yang merundung hati Johan.

"Kenapa harus aku?" gumamnya lirih, suaranya tenggelam dalam gemuruh hujan.

Pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menghantui setiap sudut pikirannya. Johan merasa hidupnya seperti permainan yang sangat kejam, di mana ia selalu menjadi pion yang dikorbankan. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dalam bayang-bayang kesedihan. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis saat ia berusia sepuluh tahun, meninggalkan Johan sebatang kara di dunia ini.

Ia dibesarkan di panti asuhan, tempat di mana ia belajar arti kesepian dan kehilangan. Meskipun dikelilingi oleh teman-teman senasib, Johan selalu merasa berbeda. Ia merindukan kehangatan keluarga, kasih sayang yang tak pernah ia rasakan.

Setelah lulus SMA, Johan bekerja keras untuk membiayai hidupnya sendiri. Ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran kecil di kawasan Sanur, pekerjaan yang jauh dari impiannya. Johan ingin menjadi seorang penulis, menuangkan segala isi hatinya ke dalam kata-kata, menciptakan dunia baru yang penuh dengan keindahan.

Namun, kenyataan tak semudah yang ia bayangkan. Setiap hari, Johan harus berjuang melawan kerasnya hidup di kota Denpasar. Ia harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menyisihkan sedikit demi sedikit uangnya untuk membeli buku dan peralatan menulis.

Di tengah kesibukannya, Johan tak pernah menyerah pada mimpinya. Setiap malam, setelah lelah bekerja, ia meluangkan waktu untuk menulis. Ia menulis tentang kesedihannya, tentang kerinduannya pada keluarga, tentang impian-impiannya yang belum tercapai, dan tentang keindahan alam Bali yang selalu menginspirasinya.

Suatu hari, Johan mengikuti sebuah lomba menulis cerpen yang diadakan oleh sebuah penerbit di Denpasar. Ia menuangkan seluruh isi hatinya ke dalam cerpen tersebut, berharap karyanya bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan hidupnya. Namun, harapannya pupus saat pengumuman pemenang lomba diumumkan. Namanya tak tercantum dalam daftar pemenang.

Kekecewaan yang mendalam menghantam hati Johan. Ia merasa tak berguna, tak berbakat. Pertanyaan "kenapa harus aku?" kembali menghantuinya. Ia merasa lelah berjuang, lelah menghadapi kenyataan hidup yang begitu pahit.

Di tengah keputusasaannya, Johan bertemu dengan seorang pemangku di sebuah pura di Denpasar. Pemangku itu mendengarkan dengan sabar setiap keluh kesah Johan. Setelah Johan selesai bercerita, pemangku itu tersenyum dan berkata, "Nak, hidup memang tidak selalu adil. Ada kalanya kita merasa seperti diuji, dihadapkan pada cobaan yang berat. Tapi ingatlah, setiap cobaan pasti ada hikmahnya.  Tuhan punya rencana untukmu. Jangan pernah menyerah pada impianmu, teruslah berjuang dan percayalah bahwa suatu saat nanti kamu akan berhasil."

Kata-kata pemangku itu bagai setetes air di padang pasir, menyejukkan hati Johan yang gersang. Ia menyadari bahwa hidup bukanlah hanya tentang mengeluh. Hidup adalah tentang bagaimana kita bangkit dari keterpurukan, bagaimana kita menghadapi setiap cobaan dengan kepala tegak.

Johan kembali bersemangat. Ia terus menulis, mengasah kemampuannya, dan belajar dari setiap kegagalan. Ia tak lagi mempertanyakan "kenapa harus aku?", karena ia tahu bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing.

Beberapa tahun kemudian, Johan berhasil menerbitkan novel pertamanya. Novel yang berlatar di Bali tersebut menjadi best seller dan diadaptasi menjadi sebuah film. Johan menjadi seorang penulis terkenal, karyanya menginspirasi banyak orang.

Ia akhirnya menemukan jawaban dari pertanyaan "kenapa harus aku?". Ia menyadari bahwa semua cobaan yang ia alami telah membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Ia telah belajar arti kesabaran, ketekunan, dan pantang menyerah.

Johan akhirnya bisa tersenyum, menatap masa depan dengan penuh harapan. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan ia siap menghadapi setiap tantangan yang menghadang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun