Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan, Rindu, dan Wedang Jahe

9 Januari 2025   21:50 Diperbarui: 9 Januari 2025   21:39 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gemericik air hujan di atap asrama membangunkanku dari tidur siang. Aroma petrikor, bau tanah basah setelah hujan, menyelinap masuk lewat jendela kayu, bercampur dengan wangi kitab kuning yang khas. Ah, nikmatnya hujan di sore hari begini.

Ku tarik sarung dan kaos loreng kebanggaanku, lalu bergegas menuju dapur asrama. Di sana, Kang Sholeh, santri senior yang jago masak, sudah sibuk mengaduk-aduk panci besar berisi air jahe. Asap mengepul dari panci, membawa aroma jahe yang hangat dan menenangkan.

"Wah, pas banget! Wedang jahe spesial racikan Kang Sholeh siap menemani hujan sore ini," sapanya sambil menyodorkan segelas wedang jahe.

Ku hirup aroma jahe yang kuat, meresap hingga ke rongga dada, mengusir hawa dingin yang dibawa hujan. Rasa hangat menjalar di tenggorokan saat ku teguk wedang jahe perlahan. "Mantap Kang! Nggak ada yang bisa ngalahin nikmatnya wedang jahe buatan Akang," pujiku.

"Hujan-hujan gini enaknya ngapain ya? Ngaji kitab udah, tidur siang juga udah," tanya Kang Sholeh sambil ikut menyeruput wedang jahenya.

"Enaknya sih ngobrol sama Akang sambil ditemani wedang jahe ini," jawabku sambil cengar-cengir.

Kang Sholeh tertawa renyah. "Boleh juga. Eh, tapi hujan-hujan gini suka bikin kangen rumah ya?"

Pertanyaan Kang Sholeh membuatku terdiam. Benar juga. Hujan selalu berhasil mengaduk-aduk rindu di hatiku. Rindu pada rumah, rindu pada Bapak, rindu pada masakan Ibu, rindu pada kasur empuk di kamarku. 

"Iya Kang. Jadi inget masakan Ibu di rumah," jawabku lirih.

Kang Sholeh menepuk pundakku. "Sama, Akang juga kangen rumah. Tapi, kita di sini kan sedang berjuang menuntut ilmu. Doa orang tua di rumah lah yang menjadi tameng kita di sini."

Kata-kata Kang Sholeh membuatku tertegun. Ya, aku di sini sedang berjuang. Berjuang melawan rasa malas, berjuang melawan godaan dunia, berjuang untuk menjadi manusia yang lebih baik, berjuang untuk membahagiakan Ibu dan Bapak.

"Akang benar. Kita harus semangat, demi Ibu dan Bapak di rumah," ujarku mantap.

Hujan di luar semakin deras. Suara gemericik air di atap asrama seperti melodi yang menenangkan. Obrolanku dengan Kang Sholeh pun mengalir, ditemani kehangatan wedang jahe dan  semangat baru yang muncul setelah hujan.

Kami bercerita tentang banyak hal, mulai dari kisah lucu di pondok, cita-cita setelah lulus nanti, hingga impian untuk bisa pergi haji bersama keluarga. Sesekali tawa kami pecah, menggema di antara suara hujan.

Hujan sore itu terasa berbeda. Hujan yang biasanya hanya membawa rindu, kini juga membawa semangat dan harapan. Hujan yang mengajarkan arti kesabaran, keikhlasan, dan perjuangan.

Terima kasih hujan. Kau telah menyadarkanku akan arti sebuah perjuangan, dan mengingatkanku akan doa yang selalu menyertai langkahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun