Kipas angin butut di kamar kosku berputar dengan malas, sama seperti semangatku hari ini. Kulihat tumpukan buku di meja belajar, kertas-kertas tugas yang belum selesai, dan sebungkus mie instan, satu-satunya stok makanan yang tersisa. Ah, hidup memang tak semudah caption para selebgram.
Aku, Raka, mahasiswa semester akhir jurusan sastra, sedang dirundung masalah klasik: cinta dan ekonomi. Cintaku bertepuk sebelah tangan, ekonomiku... yah, sudah jelas sebelah kaki juga. Gadis pujaan hatiku, Lintang, bagaikan bidadari yang turun dari kayangan. Cantik, pintar, dan berasal dari keluarga berada. Sementara aku? Hanya butiran debu di matanya.
Aku mengenalnya di perpustakaan kampus. Saat itu, ia sedang kesulitan meraih buku di rak paling atas. Dengan sigap (dan sedikit pamer otot), aku mengambilkan buku itu untuknya. Lintang tersenyum, senyum yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari deforestasi di Indonesia. Sejak saat itu, aku terjebak dalam pusaran asmara yang rumit.
Masalahnya, selain tak sepadan secara finansial, aku juga punya "cacat" yang selalu membuatku minder. Aku terlahir dengan kaki pincang. Kecelakaan di masa kecil membuatku harus berjalan tertatih-tatih seumur hidup. Aku tahu, Lintang pantas mendapatkan yang lebih baik.
Suatu hari, aku memberanikan diri mengajak Lintang makan siang di kantin kampus. Tentu saja, di kantin paling murah. Dengan keringat dingin, aku mengutarakan perasaanku. Lintang terdiam, matanya yang indah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Raka," ucapnya lembut, "kamu orangnya baik dan pintar. Tapi..."
Deg! Hatiku berhenti seketika. Kata "tapi" itu bagaikan sajam yang meremukkan harapanku.
"...aku hanya menganggapmu sebagai teman," lanjutnya.
Rasanya ingin kutelan bumi saat itu juga. Aku hanya bisa mengangguk pasrah, pura-pura tegar. Makan siangku yang murah meriah terasa semakin hambar.
Malamnya, aku termenung di kamar kos. Kipas angin butut masih setia menemaniku, seolah mengerti kegalauan hati. Aku merenung. Kaki pincang, dompet tipis, dan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kenapa hidupku serumit ini?
Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah pesan dari Lintang. Jantungku berdegup kencang. Jangan-jangan ia berubah pikiran?
"Raka, maaf kalau tadi aku membuatmu kecewa. Aku... aku hanya belum siap untuk menjalin hubungan."
Setidaknya, ada secercah harapan. Lintang tidak menolakku karena kakiku atau keadaanku.
Malam itu, aku tidur dengan perasaan lebih tenang. Aku sadar, aku memang tak sempurna. Tapi, bukan berarti aku tak pantas dicintai. Aku harus fokus memperbaiki diri, mengejar mimpiku, dan membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik.
Mungkin Lintang benar, ini bukan waktu yang tepat. Tapi, aku yakin, suatu saat nanti, aku akan bisa berdiri tegak di hadapannya, bukan hanya sebagai Raka si mahasiswa miskin, tapi sebagai Raka yang percaya diri dan pantas untuknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H