Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi, Cinta, dan Realita

8 Januari 2025   23:00 Diperbarui: 9 Januari 2025   07:17 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kipas angin butut di kamar kosku berputar dengan malas, sama seperti semangatku hari ini. Kulihat tumpukan buku di meja belajar, kertas-kertas tugas yang belum selesai, dan sebungkus mie instan, satu-satunya stok makanan yang tersisa. Ah, hidup memang tak semudah caption para selebgram.

Aku, Raka, mahasiswa semester akhir jurusan sastra, sedang dirundung masalah klasik: cinta dan ekonomi. Cintaku bertepuk sebelah tangan, ekonomiku... yah, sudah jelas sebelah kaki juga. Gadis pujaan hatiku, Lintang, bagaikan bidadari yang turun dari kayangan. Cantik, pintar, dan berasal dari keluarga berada. Sementara aku? Hanya butiran debu di matanya.

Aku mengenalnya di perpustakaan kampus. Saat itu, ia sedang kesulitan meraih buku di rak paling atas. Dengan sigap (dan sedikit pamer otot), aku mengambilkan buku itu untuknya. Lintang tersenyum, senyum yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari deforestasi di Indonesia. Sejak saat itu, aku terjebak dalam pusaran asmara yang rumit.

Masalahnya, selain tak sepadan secara finansial, aku juga punya "cacat" yang selalu membuatku minder. Aku terlahir dengan kaki pincang. Kecelakaan di masa kecil membuatku harus berjalan tertatih-tatih seumur hidup. Aku tahu, Lintang pantas mendapatkan yang lebih baik.

Suatu hari, aku memberanikan diri mengajak Lintang makan siang di kantin kampus. Tentu saja, di kantin paling murah. Dengan keringat dingin, aku mengutarakan perasaanku. Lintang terdiam, matanya yang indah menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Raka," ucapnya lembut, "kamu orangnya baik dan pintar. Tapi..."

Deg! Hatiku berhenti seketika. Kata "tapi" itu bagaikan sajam yang meremukkan harapanku.

"...aku hanya menganggapmu sebagai teman," lanjutnya.

Rasanya ingin kutelan bumi saat itu juga. Aku hanya bisa mengangguk pasrah, pura-pura tegar. Makan siangku yang murah meriah terasa semakin hambar.

Malamnya, aku termenung di kamar kos. Kipas angin butut masih setia menemaniku, seolah mengerti kegalauan hati. Aku merenung. Kaki pincang, dompet tipis, dan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kenapa hidupku serumit ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun