Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asap Rokok dan Pengangguran

7 Januari 2025   03:40 Diperbarui: 7 Januari 2025   02:39 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto orang merokok (www.pexels.com)

Asap rokok mengepul dari bibirku, membentuk lingkaran-lingkaran abstrak yang segera lenyap ditiup angin sore. Pandanganku menerawang jauh ke depan, mengikuti jejak asap itu menuju cakrawala yang mulai memerah. Di ujung gang sempit, anak-anak kecil berlarian riang, sesekali terdengar tawa renyah mereka. Ah, andai saja hidup sesederhana itu.

Aku hela napas panjang. Rokok kretek murah ini seolah jadi teman setia, menemani di kala sepi menggerogoti. Sejak dipecat dari pabrik tiga bulan lalu, hidupku memang tak karuan. Gaji pas-pasan yang dulu rutin mengisi dompet, kini tinggal kenangan.

Dulu, setiap pagi aku bangun dengan semangat. Bergegas mandi, sarapan ala kadarnya, lalu naik angkot menuju pabrik. Rutinitas membosankan memang, tapi setidaknya ada kepastian. Ada jaminan untuk makan, untuk membayar kontrakan sempit ini, untuk sesekali mentraktir adikku bakso gerobak di pinggir jalan.

Sekarang? Jangankan mentraktir adik, untuk makan sendiri saja susah. Kadang aku terpaksa mengganjal perut dengan mi instan, itupun kalau ada uang. Lebih sering aku menahan lapar, menunggu kiriman dari ibu di kampung.

Rasanya tak adil. Aku sudah berusaha keras, sekolah tinggi-tinggi, dapat gelar sarjana teknik. Tapi apa? Gelar itu tak menjamin apa-apa. Malah jadi bahan tertawaan tetangga. "Sarjana kok nganggur," sindir mereka dengan nada mengejek.

Aku benci tatapan iba mereka. Benci pertanyaan basa-basi yang menusuk hati. "Kerja di mana sekarang, Dik?" seolah sengaja mengorek luka lama. Aku lebih memilih mengurung diri di kamar, menghindari interaksi dengan dunia luar.

Kadang aku merenung, di mana letak kesalahanku? Apakah aku kurang pintar? Kurang rajin? Atau memang nasibku sedang sial? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala, tanpa jawaban yang pasti.

Kegagalan ini seperti lubang hitam yang menyedot semua harapanku. Aku merasa tak berguna, seperti sampah masyarakat. Ingin rasanya menyerah saja, pasrah pada keadaan. Tapi jauh di lubuk hati, ada secercah api yang masih menyala. Api semangat untuk bangkit, untuk membuktikan pada dunia bahwa aku bukan pecundang.

Aku teringat pesan ibu, "Nak, hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting jangan pernah putus asa. Teruslah berusaha, berdoa, dan percayalah pada dirimu sendiri."

Kata-kata sederhana itu bagai air di tengah gurun pasir. Memberi sedikit kesejukan di tengah kegersangan hidupku. Ya, aku tak boleh menyerah. Aku harus bangkit, mencari jalan keluar dari kemelut ini.

Mungkin aku harus mencoba melamar pekerjaan lain, meskipun gajinya kecil. Atau aku harus membuka usaha sendiri, meskipun modalnya pas-pasan. Yang penting aku harus bergerak, melakukan sesuatu, bukan hanya meratapi nasib.

Asap rokok terakhir kuhembuskan kuat-kuat. Bersama kepulan asap itu, kubuang jauh-jauh rasa putus asa. Kutatap langit sore yang kini semakin merah, membayangkan hari esok yang lebih baik. Aku akan berjuang, sekuat tenaga. Aku akan membuktikan bahwa kegagalan ini hanyalah batu loncatan menuju kesuksesan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun