Malam itu, aku termenung di kamar, menatap langit-langit yang terasa begitu jauh. Aku teringat perkataan sahabatku, Dito, "Cinta itu seperti kupu-kupu, Bay. Semakin dikejar, semakin menjauh. Biarkan dia terbang bebas, jika memang jodohmu, dia akan kembali dengan sendirinya."
Mungkin Dito benar. Aku harus merelakan Senja. Aku harus menerima kenyataan bahwa perasaanku bertepuk sebelah tangan.
Keesokan harinya di sekolah, aku berusaha bersikap biasa saja di depan Senja. Aku tetap menyapanya, mengobrol dengannya, tapi menjaga jarak. Aku tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.
"Kamu kenapa, Bay?" tanya Senja suatu hari, menyadari perubahan sikapku.
Aku hanya tersenyum tipis. "Enggak apa-apa kok. Cuma lagi banyak pikiran aja."
Senja mungkin tidak pernah tahu perasaanku yang sebenarnya. Tapi tidak apa-apa. Melihatnya bahagia sudah cukup bagiku. Aku akan tetap menjadi teman baiknya, mendukungnya dari jauh, dan mendoakan yang terbaik untuknya.
Lagipula, bukankah cinta tak harus memiliki?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H