Bel masuk berbunyi nyaring, membuyarkan lamunanku tentang Senja. Ah, Senja. Gadis yang selalu berhasil membuat jantungku berdetak tak beraturan. Sejak pertama kali melihatnya di perpustakaan, aku tahu dia berbeda. Caranya membenarkan letak kacamata, fokusnya saat membaca, bahkan aroma vanilla samar yang selalu tertinggal di udara setiap dia lewat.
Sayangnya, aku hanyalah Bayu, si anak IPA yang lebih dikenal karena kemampuannya menghafal nama-nama latin tumbuhan dan hewan daripada merangkai kata-kata cinta. Berbeda dengan Senja, primadona sekolah yang selalu dikelilingi banyak pengagum.
Meskipun begitu, aku tetap berusaha mendekatinya. Setiap hari, aku mencari alasan untuk berpapasan dengannya di koridor, pura-pura butuh buku yang sama di perpustakaan, bahkan dengan berani (atau mungkin nekat) ikut ekstrakurikuler fotografi hanya karena Senja menjadi anggotanya.
"Eh, Bayu kan? Yang jago biologi itu?" sapa Senja suatu hari saat kami sedang membereskan peralatan fotografi.
Rasanya seperti ada kembang api yang meledak di dadaku. Dia tahu namaku!
"I-iya, Senja," jawabku gugup, berusaha mati-matian agar tidak menjatuhkan tripod di tanganku.
"Foto-fotomu bagus banget lho! Aku suka angle-nya," pujinya sambil tersenyum. Senyum yang membuat duniaku serasa berhenti berputar.
Sejak saat itu, kami jadi lebih sering mengobrol. Aku belajar banyak tentang Senja; tentang kecintaannya pada fotografi, mimpinya menjadi jurnalis, dan tentang keluarganya. Semakin mengenalnya, semakin dalam pula rasa sukaku padanya.
Namun, kenyataan memang tak seindah mimpi. Di suatu sore, saat aku memberanikan diri mengantar Senja pulang, aku melihatnya dijemput seorang laki-laki. Laki-laki itu tinggi, tampan, dan terlihat dewasa. Senja memanggilnya "Kakak". Jelas, dia bukan hanya sekedar kakak. Cara mereka berinteraksi, tatapan mata mereka, semuanya menunjukkan lebih dari sekedar hubungan saudara.
Hatiku hancur. Semua harapanku sirna seketika.