Jujur, gue nggak pernah ngerti yang namanya jatuh cinta. Kata orang sih, rasanya kayak lagi naik roller coaster, kadang bikin deg-degan, kadang bikin senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Tapi, semua teori itu buyar pas gue ketemu dia. Rasanya bukan kayak naik roller coaster, lebih kayak diserbu semut rangrang pas lagi enak-enak tiduran di bawah pohon mangga. Gatel, geli, dan bikin nggak konsen!
Namanya Rara, anak kelas sebelah yang cantiknya kebangetan. Rambutnya panjang kecoklatan kayak iklan sampo di TV. Matanya bening, bikin gue pengen nyemplung terus berenang di dalamnya. Senyumnya? Jangan ditanya! Bisa bikin gue lupa PR Matematika dari guru killer.
Pertama kali lihat dia, gue langsung kena love at the first sight. Lebay sih kedengarannya, tapi ya gimana lagi? Namanya juga jatuh cinta, suka-suka gue dong, mau lebay kek, mau alay kek.
Awalnya, gue cuma bisa merhatiin dia dari jauh. Kayak stalker gitu deh, ngikutin dia diam-diam pas lagi di kantin, pas lagi di perpus, bahkan pas lagi berangkat dan pulang sekolah. Pokoknya, gue selalu cari kesempatan buat lihat dia, walau cuma sekilas.
Suatu hari, keberuntungan berpihak pada gue. Waktu itu, gue lagi nongkrong di kantin, nyeruput es teh manis sambil baca komik. Tiba-tiba, Rara dateng dan duduk di meja seberang gue. Jantung gue rasanya mau copot, deg-degannya minta ampun!Â
"Eh, lo suka baca komik itu juga ya?"
Suara merdu itu bikin gue hampir keselak es teh. Ternyata, Rara nyapa gue duluan! Gila, mimpi apa gue semalem?
"I-iya," jawab gue gugup. "Lo juga suka?"
"Suka banget! Itu komik favorit gue," kata Rara sambil senyum. Senyumnya itu loh, bikin gue pengen pingsan di tempat.
Dari situ, kita mulai ngobrol. Ternyata, Rara anaknya asik banget. Dia suka baca komik sama nonton anime, belum lagi selera musiknya sama kayak gue. Obrolan kita ngalir terus, sampai nggak kerasa bel masuk udah bunyi.
"Yah, udah bel nih," kata Rara. "Gue duluan ya."
"Eh, iya. Duluan juga," jawab gue.
Selesai ngobrol sama Rara, seharian gue nggak bisa berhenti senyum-senyum sendiri. Rasanya dunia kayak milik berdua, yang lain cuma ngontrak.
Semenjak hari itu, gue sama Rara jadi sering ngobrol. Kadang di kantin, kadang di perpus, kadang juga lewat chat. Makin kenal sama dia, makin gue yakin kalau doi cewek yang selama ini gue cari. Rara itu udah cantik, baik, pinter, humoris pula. Paket komplit!
Tapi, ada satu masalah. Gue terlalu malu buat nyatain perasaan. Setiap kali mau ngomong, lidah gue mendadak ngilu. Gue takut kalau ditolak Rara, takut kalau persahabatan kita jadi rusak.
Sampai suatu hari, gue denger kabar kalau Rara lagi deket sama kakak kelas. Kabar itu kayak petir di siang bolong. Gue langsung lemes, rasanya dunia mau kiamat. Gue sadar, harus cepet-cepet nyatain perasaan sebelum terlambat.
Dengan segenap keberanian yang gue punya, gue ajak Rara ketemuan di taman sekolah. Di bawah pohon beringin, gue utarakan semua isi hati gue. Gue bilang suka dan sayang sama dia.
"Rara, gue..."
Gue berhenti sejenak, ngatur napas. Jantung gue rasanya mau meledak.
"...gue suka sama lo. Udah lama."
Rara terdiam. Dia menatap gue dengan ambigu. Gue makin deg-degan dong ya.
"Gue juga suka sama lo," kata Rara.
Lahh?! Gue nggak salah denger nih? Rara suka sama gue?
Rasanya, gue pengen teriak kenceng banget. Gue pengen loncat kegirangan. Gue pengen peluk Rara. Tapi, gue tahan semua keinginan itu. Gue cuma bisa senyum bahagia.
Ternyata, jatuh cinta itu emang seindah kayak di film-film. Rasanya kayak minum kopi susu di pagi hari, manis, hangat, dan bikin semangat. Dan Rara, doi adalah kopi susu termanis yang pernah gue rasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H