Aroma petrikor menyeruak masuk lewat jendela kamar yang lupa kututup. Rintik hujan mulai membasahi halaman, persis seperti hari itu, hari kepergianmu. Sudah empat tahun berlalu, tapi kenangan itu masih saja terasa segar.
Ingat kan, dulu kita suka bercanda, siapa yang paling lama menahan napas di bawah air terjun kecil dekat rumahmu? Aku cuma bisa geleng-geleng kepala sambil pura-pura kesal. Padahal, dalam hati, aku senang melihat tawamu yang lepas, seperti gemericik air yang mengalir di antara bebatuan.
Kita juga sering bertengkar, biasanya karena hal-hal sepele. Kamu yang suka lupa menaruh kunci motor, aku yang suka ngomel saat kamu pulang malam. Tapi, pertengkaran kita tak pernah bertahan lama. Selalu diakhiri dengan tawa dan pelukan hangat, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
Lalu, datanglah hari itu. Hari yang mengubah segalanya. Kamu bilang harus pergi, mengejar mimpi di negeri seberang. Katamu, ini demi masa depan kita. Aku hanya bisa mengangguk pasrah, walaupun hatiku terasa pilu.
"Aku pasti kembali,"janjimu saat itu, sambil menggenggam erat tanganku. "Tunggu aku, ya?"
Aku mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Kupeluk erat-erat, seolah tak ingin melepaskanmu. Wangi parfummu, masih kuingat sampai sekarang.
Empat tahun berlalu, penantianku tak kunjung usai. Kabar darimu hanya sesekali datang, lewat pesan singkat atau panggilan video yang terputus-putus. Kamu bilang sedang sibuk dengan kuliah dan pekerjaan paruh waktumu. Aku mengerti.
Tapi, rindu ini kadang tak bisa diajak kompromi. Ada kalanya, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, meluapkan semua rasa yang terpendam. Ingin kuteriakkan namamu di tengah hujan, biar angin menyampaikannya padamu.
Namun, aku hanya bisa bersabar menunggu. Seperti pohon rindang yang setia menanti hujan, seperti bumi yang sabar menanti mentari. Aku percaya, kamu pasti kembali. Janji itu masih terngiang di telingaku, seperti lagu yang tak pernah bosan kudengarkan.
Hari ini, hujan kembali turun. Aku duduk di teras rumah, memandangi langit yang kelabu. Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah nomor asing tertera di layar.
"Halo?" kataku ragu.
"Halo, apa benar ini dengan...?"
Suara itu. Suara yang kurindukan selama ini. Jantungku berdebar kencang, seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu.
"Ya, ini aku," jawabku, suara tercekat di tenggorokan.
"Aku sudah kembali," katanya. Suara itu terdengar lelah, tapi juga penuh kegembiraan. "Aku di bandara sekarang. Bisakah kamu menjemputku?"
Air mataku akhirnya tumpah juga. Rasa rindu, bahagia, dan haru bercampur aduk menjadi satu.
"Tentu saja," jawabku lirih. "Aku akan segera ke sana."
Kugantungkan telepon, lalu berlari masuk ke dalam rumah. Kucari kunci motor, jaket, dan jas hujan. Hujan masih turun dengan derasnya, tapi aku tak peduli. Yang kupikirkan hanyalah satu: menjemputmu, mendekapmu, dan mengatakan betapa aku merindukanmu.
Empat tahun menunggumu kembali, rasanya seperti selamanya. Tapi, kini kamu telah di sini. Dan aku tahu, penantianku tak sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H