Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Seorang sarjana sains dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Memiliki minat dalam bidang desain grafis dan kepenulisan, dalam bidang desain, telah berhasil meraih beberapa pencapaian, antara lain sebagai juara favorit lomba desain poster di Ikatan Himpunan Mahasiswa Biologi Indonesia (2020) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (2015).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bintang Terakhir

10 Juli 2024   10:14 Diperbarui: 10 Juli 2024   10:55 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, suasana di sekolah terasa berbeda. Kelas tampak lebih ramai dari biasanya, dengan bisik-bisik siswa membicarakan ini dan itu. Di tengah keramaian itu, seorang pemuda berjalan dengan ragu-ragu. Dia adalah Andi, murid pindahan dari kota lain. Rambutnya yang agak acak-acakan dan wajahnya yang tampak cemas menunjukkan bahwa dia belum terbiasa dengan lingkungan barunya.

Andi berjalan menuju kelas barunya dengan kepala menunduk, mencoba menghindari tatapan penasaran dari siswa-siswa lain. Begitu masuk ke kelas, dia memperkenalkan diri dengan singkat di depan teman-teman barunya dan duduk di bangku kosong  belakang.

Di sinilah Andi pertama kali melihat Rina. Dia duduk di barisan depan, dengan wajah yang pucat namun ceria. Rambutnya panjang tergerai, senyumnya yang lebar membuatnya tampak berbeda dari siswa yang lain. Andi merasa tertarik padanya, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mendekatinya.

Hari-hari berlalu, dan Andi mulai beradaptasi dengan sekolah barunya. Namun, rasa penasarannya terhadap Rina terus tumbuh. Suatu hari, kesempatan itu datang ketika guru mengumumkan bahwa mereka akan bekerja dalam kelompok untuk proyek kelas. Andi dan Rina berada dalam kelompok yang sama.

Andi merasa gugup saat mendekati Rina. "Hai, namaku Andi," sapanya sambil tersenyum.

Rina membalas senyumannya. "Hai, aku Rina. Senang bertemu denganmu!"

Mereka mulai belajar bersama, dan Andi merasa semakin nyaman berbicara dengan Rina. Dia menyadari bahwa Rina adalah gadis yang cerdas dan penuh semangat, meskipun tubuhnya tampak lemah. Andi penasaran dengan keadaan Rina, tapi dia tidak ingin menyinggung perasaannya.

Suatu hari, setelah selesai kerja kelompok, Andi dan Rina duduk di taman sekolah. Andi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Rina, kalau boleh tahu, kenapa kamu terlihat sering kelelahan?"

Rina menghela napas dan menatap Andi. "Aku punya penyakit jantung. Dokter bilang hidupku tidak akan lama lagi."

Andi terdiam, terkejut dengan jawaban Rina. Dia tidak tahu harus berkata apa. "Maaf, aku tidak tahu..."

Rina tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Andi. Aku sudah menerima kenyataan ini. Aku hanya ingin menjalani sisa hidupku dengan bahagia dan melakukan hal-hal yang aku cintai."

Andi merasa kagum dengan keberanian Rina. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat hari-hari Rina lebih menyenangkan. Mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, belajar, bercanda, dan berbicara tentang impian mereka. Andi merasa hidupnya berubah sejak bertemu dengan Rina.

Namun, semakin dekat dengan Rina, Andi merasa semakin takut kehilangan. Dia tahu bahwa waktunya bersama Rina terbatas, tapi dia tidak ingin memikirkannya. Suatu malam, saat mereka duduk di bawah bintang-bintang, Andi memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.

"Rina, aku... aku sayang kamu," kata Andi dengan suara gemetar.

Rina tersenyum lembut dan meraih tangan Andi. "Aku juga sayang kamu, Andi. Tapi kita harus realistis. Aku tidak akan lama lagi di sini."

Andi menatap mata Rina dengan penuh kesedihan. "Aku tahu, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin membuatmu bahagia selama kita masih bersama."

Rina meneteskan air mata, dia tersenyum. "Terima kasih, Andi. Kamu adalah hal terbaik yang pernah ada dalam hidupku."

Hari-hari berlalu, dan kondisi Rina semakin memburuk. Andi selalu berada di sisinya, memberinya kekuatan dan cinta. Mereka berbagi tawa dan air mata, menikmati setiap detik yang mereka miliki bersama.

Pada suatu malam, Rina masuk ke rumah sakit. Andi berada di sampingnya, menggenggam tangan Rina yang lemah. "Andi, aku takut," bisik Rina.

Andi menahan air mata dan mencoba tersenyum. "Aku di sini, Rina. Aku tidak akan pergi ke mana-mana."

Rina menatap Andi dengan mata penuh cinta. "Terima kasih telah membuat hidupku lebih indah, Andi. Aku mencintaimu."

Andi merasakan hatinya hancur, tapi dia berusaha tetap kuat. "Aku juga mencintaimu, Rina. Selalu."

Malam itu, Rina menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang, dengan Andi di sisinya. Andi menangis tanpa suara, merasakan kehilangan yang mendalam. Namun, dia telah memberikan yang terbaik untuk Rina, dan itu memberinya kekuatan untuk terus maju.

Meskipun Rina telah tiada, kenangan tentangnya tetap hidup dalam hati Andi. Dia belajar untuk menghargai setiap momen dan menjalani hidup dengan penuh makna, seperti yang telah diajarkan Rina. Dan di setiap bintang yang bersinar di langit malam, Andi merasa Rina masih bersamanya, memberikan cinta dan kekuatan yang tidak akan pernah pudar.

Syarat

event.kompasiana.com
event.kompasiana.com

Datang, Diskusi, dan Bacakan Karyamu di Kongkow Fiksi Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun