Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Seorang sarjana sains dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Memiliki minat dalam bidang desain grafis dan kepenulisan, dalam bidang desain, telah berhasil meraih beberapa pencapaian, antara lain sebagai juara favorit lomba desain poster di Ikatan Himpunan Mahasiswa Biologi Indonesia (2020) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (2015).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Tuwo

9 Juli 2024   21:12 Diperbarui: 9 Juli 2024   22:09 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam mulai merayap pelan di sudut-sudut kota. Langit Kota Malang berpendar merah muda, mengiringi hiruk-pikuk yang perlahan mereda. Di salah satu sudut kota, berdiri sebuah kafe kecil dengan papan nama sederhana, "Kopi Tuwo". Tidak ada yang istimewa dari kafe ini pada pandangan pertama, namun bagi mereka yang tahu, tempat ini menyimpan banyak cerita.

Pintu kafe terbuka, dan seorang pria paruh baya masuk dengan langkah mantap. Namanya Budi. Ia duduk di sudut ruangan, tempat favoritnya, dan memesan secangkir kopi hitam. Di tangannya tergenggam sebuah buku catatan lusuh. Setiap malam, ia datang ke sini untuk menulis, mencoba menghidupkan kembali mimpi lamanya sebagai seorang penulis. 

Bertahun-tahun ia habiskan di kantor, mengubur mimpinya demi menafkahi keluarga. Kini, dengan anak-anak yang sudah dewasa dan istri yang mendukung, ia mencoba mengejar mimpi yang dulu ia tinggalkan. Setiap tetes kopi yang ia seruput, seolah mengalirkan inspirasi ke dalam tulisannya.

Di meja sebelah, seorang wanita muda dengan rambut sebahu duduk sambil menatap layar laptopnya. Namanya Sari. Malam ini, ia datang dengan harapan baru. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai pekerja lepas. 

Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan yang tak pernah menghargai idenya, ia memutuskan untuk berhenti dan mengejar mimpinya sebagai desainer grafis. Rasa takut dan harapan bercampur aduk di hatinya. Ia tahu jalan di depan tidak mudah, namun setiap desain yang ia buat membuatnya merasa hidup.

Pintu kafe kembali terbuka, dan seorang pria dengan pakaian rapi masuk. Namanya Rendy. Ia memilih tempat di dekat jendela, memesan cappuccino, dan menatap keluar. Rendy baru saja dipromosikan di kantornya, namun hatinya tak tenang. 

Ia selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Malam ini, ia berencana bertemu orang yang spesial. Seorang wanita yang selalu ada di pikirannya sejak sekolah menengah atas. Ia berharap bisa mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam.

Kali ini seorang pemuda dengan jaket kulit masuk pintu kafe. Namanya Andi. Ia memilih duduk di dekat konter kafe, memesan kopi latte, dan membuka buku catatan kecilnya. Andi adalah seorang musisi jalanan yang memiliki mimpi besar. 

Ia baru saja kehilangan kesempatan untuk tampil di sebuah acara besar karena kesalahan yang ia buat. Penyesalan masih menghantui pikirannya, namun ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Setiap nada dan lirik yang ia tulis malam ini, adalah langkah kecil menuju mimpi yang lebih besar.

Di pojok kafe, seorang wanita tua duduk sendirian. Namanya Ibu Sulastri. Ia adalah pelanggan tetap yang selalu datang setiap malam Minggu. Setiap cangkir teh yang ia pesan, selalu diiringi dengan air mata yang tersembunyi di balik senyum lembutnya. 

Sepuluh tahun yang lalu, ia kehilangan suami dan anaknya dalam kecelakaan. Kafe ini adalah tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. 

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia datang untuk mengenang kenangan indah yang pernah ia miliki. Harapan untuk bisa kembali bersama keluarganya di surga, membuatnya tetap tegar menjalani hari.

Di ujung kafe, seorang barista muda dengan senyum ramah melayani para pelanggan. Namanya Dika. Ia tahu setiap pelanggan yang datang ke kafe ini membawa cerita masing-masing. Dika selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik, berharap setiap cangkir kopi yang ia sajikan bisa memberikan kehangatan dan kebahagiaan bagi mereka. Ia sendiri memiliki mimpi untuk membuka kedai kopi sendiri suatu hari nanti, namun untuk saat ini, ia bahagia bisa menjadi bagian dari cerita orang lain.

Malam semakin larut, namun cerita-cerita di Kafe Tuwo terus bergulir. Budi menulis dengan penuh semangat, Sari berkutat dengan desainnya, Rendy menunggu dengan cemas, Andi merenung dan menulis lagu baru, Ibu Sulastri mengenang dengan penuh kasih, dan Dika terus menyajikan kopi dengan senyuman. 

Kafe ini menjadi saksi bisu dari berbagai harapan, penyesalan, dan keinginan yang belum terpenuhi. Di balik setiap cangkir kopi, ada cerita yang belum selesai, menunggu untuk ditulis hingga akhir.

Di tengah hiruk-pikuk kota Malang, Kafe Tuwo adalah tempat di mana mimpi dan kenyataan bertemu, memberikan secercah harapan bahwa setiap akhir adalah awal dari cerita baru.

Syarat

event.kompasiana.com
event.kompasiana.com

Datang, Diskusi, dan Bacakan Karyamu di Kongkow Fiksi Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun