Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Seorang sarjana sains dari Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Memiliki minat dalam bidang desain grafis dan kepenulisan, dalam bidang desain, telah berhasil meraih beberapa pencapaian, antara lain sebagai juara favorit lomba desain poster di Ikatan Himpunan Mahasiswa Biologi Indonesia (2020) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (2015).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Kenangan

6 Juli 2024   08:30 Diperbarui: 6 Juli 2024   08:36 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari mulai tenggelam di balik bukit, memancarkan cahaya keemasan yang memantul di permukaan danau. Suasana danau semakin tenang dan damai, namun hati Andi, Rani, Budi, dan Sinta terasa berat mengingat kejadian tragis yang menimpa sahabat mereka, Dika, sepuluh tahun yang lalu.

Dahulu, mereka berlima selalu bermain bersama di tepi danau ini. Mereka tertawa, berenang, dan berpetualang bersama. Namun, satu hari yang cerah itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika Dika terjatuh ke dalam danau dan tidak pernah muncul lagi. Kehilangan Dika meninggalkan luka mendalam yang menghantui mereka hingga hari ini.

Andi, yang dulu selalu menjadi pemimpin kelompok, kini bekerja sebagai insinyur di kota. Rani, si penyayang yang selalu ada untuk teman-temannya, menjadi seorang perawat. Budi, si cerdas yang gemar membaca, menjadi seorang dosen. Sinta, yang dulu pemalu namun penuh semangat, sekarang adalah seorang penulis terkenal.

Mereka berkumpul kembali di tepi danau untuk mengenang sahabat mereka. Setiap langkah membawa mereka kembali ke masa lalu, mengingat kebahagiaan dan kesedihan yang pernah mereka alami bersama.

"Kalian ingat tempat ini?" tanya Andi, suaranya bergetar.

"Tentu saja," jawab Rani, sambil menghapus air mata yang mulai mengalir. "Ini tempat terakhir kita melihat Dika."

Budi hanya mengangguk pelan, menatap danau dengan tatapan kosong. Sinta berdiri sedikit terpisah, menatap danau yang tenang, mencoba menahan emosi yang meluap di dalam hatinya.

"Aku masih bisa mendengar tawa Dika," kata Sinta, suaranya hampir tidak terdengar. "Dia selalu membuat kita tertawa, bahkan saat kita merasa sedih."

Mereka semua terdiam, tenggelam dalam kenangan. Masing-masing merasakan kehilangan yang begitu mendalam, namun juga merasakan kedekatan yang tak tergantikan dengan sahabat mereka yang telah tiada.

"Sudah lama aku ingin mengatakan sesuatu," kata Andi, memecah keheningan. "Hari itu, aku merasa sangat bersalah. Aku yang mengajak Dika berenang. Seandainya aku lebih berhati-hati, mungkin dia masih bersama kita."

Rani mendekat dan memegang tangan Andi. "Kita semua merasa bersalah, Andi. Tapi itu bukan salahmu. Itu kecelakaan."

"Aku juga merasa begitu," tambah Budi. "Aku sering berpikir, seandainya aku lebih cepat, aku mungkin bisa menyelamatkannya."

Sinta menghela napas panjang. "Aku menulis tentang Dika dalam banyak ceritaku. Menulis adalah caraku untuk mengatasi rasa kehilangan ini. Tapi aku tahu, kita harus belajar memaafkan diri kita sendiri."

Mereka saling memandang, dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, mereka merasakan beban yang sedikit terangkat dari hati mereka. Mereka mulai berbicara tentang kenangan indah bersama Dika, mengingat betapa dia selalu membuat mereka tertawa dan bahagia.

Malam semakin larut, dan mereka menyalakan api unggun di tepi danau. Di bawah cahaya bintang dan nyala api, mereka merasakan kehadiran Dika di tengah-tengah mereka, seolah sahabat mereka kembali hadir, memberikan kehangatan dan kebahagiaan seperti dulu.

"Kita harus terus hidup, untuk Dika," kata Sinta dengan tegas. "Dia tidak akan ingin kita terpuruk dalam kesedihan selamanya."

Rani tersenyum. "Benar. Kita harus menghargai hidup kita dan membuatnya berarti, seperti yang Dika lakukan."

Budi mengangguk. "Dan kita selalu punya kenangan indah bersama Dika untuk diingat. Itu yang akan membuat kita kuat."

Andi menatap sahabat-sahabatnya dengan perasaan lega. "Aku setuju. Mari kita terus melangkah maju, bersama-sama."

Saat fajar menyingsing, mereka berdiri di tepi danau, merasakan angin pagi yang sejuk. Dengan hati yang lebih ringan dan semangat baru, mereka berjanji untuk selalu mengenang Dika dan menjalani hidup dengan penuh makna.

Danau itu, yang dulu menjadi saksi tragedi, kini menjadi tempat mereka menemukan kedamaian dan kekuatan. Dengan kenangan akan Dika yang selalu hidup di hati, mereka siap melangkah maju, bersama-sama, menjalani hidup yang penuh harapan dan kebahagiaan.

Kehilangan seseorang yang kita cinta dan sayangi memang menyakitkan, namun melalui kenangan dan dukungan dari sahabat, kita dapat menemukan kekuatan untuk terus maju dan menghargai setiap momen dalam hidup kita. Selalu ada harapan di balik setiap kesedihan, dan kebersamaanlah yang membuat kita kuat.

Syarat

event.kompasiana.com
event.kompasiana.com
Datang, Diskusi, dan Bacakan Karyamu di Kongkow Fiksi Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun