Rani mendekat dan memegang tangan Andi. "Kita semua merasa bersalah, Andi. Tapi itu bukan salahmu. Itu kecelakaan."
"Aku juga merasa begitu," tambah Budi. "Aku sering berpikir, seandainya aku lebih cepat, aku mungkin bisa menyelamatkannya."
Sinta menghela napas panjang. "Aku menulis tentang Dika dalam banyak ceritaku. Menulis adalah caraku untuk mengatasi rasa kehilangan ini. Tapi aku tahu, kita harus belajar memaafkan diri kita sendiri."
Mereka saling memandang, dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, mereka merasakan beban yang sedikit terangkat dari hati mereka. Mereka mulai berbicara tentang kenangan indah bersama Dika, mengingat betapa dia selalu membuat mereka tertawa dan bahagia.
Malam semakin larut, dan mereka menyalakan api unggun di tepi danau. Di bawah cahaya bintang dan nyala api, mereka merasakan kehadiran Dika di tengah-tengah mereka, seolah sahabat mereka kembali hadir, memberikan kehangatan dan kebahagiaan seperti dulu.
"Kita harus terus hidup, untuk Dika," kata Sinta dengan tegas. "Dia tidak akan ingin kita terpuruk dalam kesedihan selamanya."
Rani tersenyum. "Benar. Kita harus menghargai hidup kita dan membuatnya berarti, seperti yang Dika lakukan."
Budi mengangguk. "Dan kita selalu punya kenangan indah bersama Dika untuk diingat. Itu yang akan membuat kita kuat."
Andi menatap sahabat-sahabatnya dengan perasaan lega. "Aku setuju. Mari kita terus melangkah maju, bersama-sama."
Saat fajar menyingsing, mereka berdiri di tepi danau, merasakan angin pagi yang sejuk. Dengan hati yang lebih ringan dan semangat baru, mereka berjanji untuk selalu mengenang Dika dan menjalani hidup dengan penuh makna.
Danau itu, yang dulu menjadi saksi tragedi, kini menjadi tempat mereka menemukan kedamaian dan kekuatan. Dengan kenangan akan Dika yang selalu hidup di hati, mereka siap melangkah maju, bersama-sama, menjalani hidup yang penuh harapan dan kebahagiaan.