Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapak Tilas Sejarah Polemik Tahta Kesultanan Kasepuhan

12 Agustus 2020   16:10 Diperbarui: 12 Agustus 2020   20:56 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Bambang Wibiono
_

Kronologi
Pada Minggu, 28 Juni 2020 lalu masyarakat Cirebon dibuat geger dengan beredarnya sebuah vidio yang memperlihatkan seseorang menyegel salah satu bangunan di Keraton Kasepuhan dengan cara menggemboknya. 

Tidak hanya itu, foto sultan pun diturunkan. Di akhir aksinya, orang yang bernama Rahardjo dalam vidio tersebut mengaku sebagai keturunan Sultan Kasepuhan ke XI, kemudian duduk di singgasana Sultan dan memberikan pernyataan yang mecengangkan, yaitu mengambil alih kekuasaan Keraton Kasepuhan dari tangan Sultan Kasepuhan XIV, Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat.

Diketahui dari pernyataan vidio tersebut, aksi penyegelan dan "pengambilalihan" dilakukan pada hari Sabtu, 26/6/2020 namun tersebar pada keesokan harinya. 

Sultan Kasepuhan yang saat itu sedang dalam perawatan di salah satu rumah sakit di Bandung merespon dengan membuat pernyataan resmi secara tertulis yang disampaikan ke media, yang intinya menyatakan bahwa tindakan penyegelan itu dianggap melanggar hukum, berita bohong, dan membuat malu Cirebon. Ini berbuntut pada pelaporan ke pihak kepolisian.

Tentu ini membuat heran dan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Cirebon. Semua media lokal, bahkan beberapa media nasional serta televisi mengangkat berita ini sebgai headline.

Rahardjo dan beberapa orang terlihat dalam vidio berjalan dengan santai di area Keraton Kasepuhan, bahkan masuk ke beberapa bangsal/ruangan, kemudian duduk di kursi yang biasa diduduki sultan saat acara-acara di keraton. 

Kalau pengakuan Rahardjo yang mengklaim sebagai keturunan Sultan atau masih kerabat famili Kasepuhan dianggap bohong, tentu tindakannya itu sudah dihalangi dan diusir oleh kerabat keraton serta para abdi dalem yang bertugas. Nyatanya tidak demikian. Bahkan saat berkeliling keraton, Rahardjo didampingi oleh kerabat keraton.

Belakangan, klaim Rahardjo itu dibuktikan dengan Surat Keterangan Silsilah yang diterbitkan pihak Keraton Kasepuhan sendiri secara resmi dan ditanda tangani bermaterai oleh Sultan PRA Arief Natadiningrat, yang mana dia adalah Sultan yang menjabat saat ini.

Di tengah kekisruhan itu, kemudian Rahardjo menjelaskan maksudnya bahwa sebenarnya tidak berambisi untuk menduduki tahta Sultan dan menggulingkan kekuasaan. Niatnya tak lain adalah ingin meluruskan sejarah. Dirinya menganggap bahwa selama ini ada kekeliruan sejarah yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat terkait tahta Kesultanan Kasepuhan.

Masalah semakin serius ketika sang Sultan PRA Arief Natadiningrat wafat tak lama setelah geger tersebut. Tepatnya pada Rabu 22/7/2020, Sultan Wafat di RS Sentosa Bandung. Pasalnya, Sultan belum melakukan penobatan secara resmi kepada putra mahkota sebagai penggantinya kelak.

Napak Tilas Jejak Sejarah

Melihat polemik seputar suksesi tahta sultan ini, menjadi menarik ditelisik kembali apa penyebabnya. Jika melihat dinamikanya, memang Kesultanan Cirebon ini memiliki perjalanan sejarah yang dinamis sejak berdirinya, masa perluasan wilayah, sampai masuknya penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan dan pascakemerdekaan saat ini.

Tahun 2011 lalu penulis pernah melakukan penelitian terkait dinamika Kesultanan Kasepuhan ini dengan judul Dinamika Kekuasaan dan Kedudukan Keraton di Kota Cirebon: Studi Fenomenologi tentang Keraton Kasepuhan (2011). Fokusnya pada bagaimana konstruksi kekuasaan yang terbentuk serta dinamika atau perjalanan kekuasaan itu sampai era sekarang.

Dari hasil penelusuran sejarah, informasi, dokumen-dokumen, hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku, bahkan wawancara ke beberapa narasumber baik kalangan masyarakat umum, pihak keraton, pemerintah daerah, pemerhati budaya Cirebon, kiyai pondok pesantren, termasuk wawancara langsung dengan Sultan Arief Natadiningrat menemukan bahwa perkembangan jaman telah menyebabkan perubahan fungsi, kedudukan, dan kekuasaan Keraton Kasepuhan (juga Keraton lain yang ada di Cirebon seperti Kanoman dan Kacirebonan).

Perubahan fungsi, kedudukan, dan kekuasaan Kesultanan Cirebon, khususnya Keraton Kasepuhan sebagai salah satu kesultanan yang masih berdiri, dipengaruhi faktor historis pada masa penjajahan Belanda. Adanya depolitisasi, demiliterisasi akibat hasutan dan perjanjian kerjasama dengan Belanda menjadi awal mula keruntuhan kekuasaan Kesultanan. Ini juga yang mungkin menyebabkan polemik seputar suksesi tahta sultan.

Akibat dari itu, Kesultanan Cirebon tidak hanya kehilangan kekuasaan politik, tetapi juga ekonomi. Contohnya dalam pengelolaan Pelabuhan Muara Jati yang dikuasai VOC.

Intervensi Belanda lewat VOC yang terlalu jauh ke dalam turut menyebabkan perpecahan di lingkungan internal. Beberapa memilih keluar dari keraton dan berjuang serta berdakwah dari luar dengan membangun pedukuhan, padepokan, dan pondok-pondok pesantren, salah satunya adalah Pondok Pesantren Buntet dan Gedongan. 

Beberapa yang lain juga memang ada yang ditugaskan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat luas. Dari dua pesantren tersebut melahirkan beberapa pesantren lain yang masih memiliki hubungan darah dengan kesultanan, diantaranya Pondok Pesantren Bendakerep.

Menurut "Dagh Register Anno 1680" atau catatan harian VOC (untuk salinan aslinya bisa akses di https://sejarah-nusantara.anri.go.id/hathi28/) yang dikutip Edi, S. Ekadjati dalam bukunya Penyebaran Islam di Jawa Barat (1975), pada tanggal 17 Maret 1680, Sultan Sepuh (Sultan Raja Syamsudin) mengadakan hubungan dengan Sultan Haji yang merupakan Sultan Banten (diperkirakan melalui utusan khusus). Selanjutnya beberapa waktu kemudian, setelah kontak dengan Sultan Haji, Sultan Sepuh menulis surat kepada Gubernur Jenderal VOC.

Surat Sultan Sepuh segera dibalas oleh Direktur Jenderal VOC Cornelis Spellman. Isi surat Sultan Sepuh itu ialah meminta bantuan VOC terhadap gangguan dan ancaman pasukan Banten.

Pada bulan Januari 1681, perjanjian persahabatan (Verdrag ofte Overeenkoms) antara sultan-sultan Cirebon dengan VOC ditandatangani oleh Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon (Pangeran Wangsakerta/Panembahan Toh Pati) dalam suatu upacara di alun-alun. Dari pihak VOC ditandatangani oleh Commissaris Van Dyck.

Sementara itu, kondisi yang melatarbelakangi persahabatan dengan Belanda adalah terkait dengan perpecahan dan pemberontakan yang terjadi di Kesultanan Banten. 

Perjanjian persahabatan ini merupakan dorongan dari Sultan Haji (putra Sultan Ageng Tirtayasa yang memberontak dan bersekutu dengan VOC) yang meyakinkan sultan-sultan di Cirebon mengenai keuntungan bersahabat dengan VOC. Selain itu Sultan Haji khawatir jika para pimpinan masyarakat dan pemerintahan di Cirebon yang masih sangat setia kepada Sultan Ageng, masih tetap membantu gerilya laut Banten yang mengganggu VOC di sebelah Timur Batavia.

Penandatanganan perjanjian persahabatan itu menimbulkan perpecahan di kalangan para pembesar pemerintahan di Cirebon. Namun pro dan kontra ini tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah. Setelah penandatanganan perjanjian itu, terjadi proses likuidasi kekuatan politik di Cirebon dan juga Banten.

Menurut beberapa sumber, pada masa Panembahan Girilaya beserta putra mahkotanya ditahan oleh Mataram dan terjadi kekosongan pemerintahan di Cirebon, Kesultanan Banten memiliki andil yang besar dalam membantu dan melindungi Cirebon dari ancaman Mataram dan VOC. Bahkan Pangeran Wangsakerta dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin Cirebon selama Sultan dan Putra Mahkota tidak ada.

Dari kondisi pada saat itu, dapat diambil kesimpulan secara logis bahwa ketika Banten dalam kondisi terpuruk akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Sultan Haji yang dibantu VOC, dan Cirebon yang kekuasaannya terpecah ditangan tiga sultan, serta tidak adanya kekuatan militer, maka wajar jika Cirebon mudah dihasut oleh Banten yang pada saat itu telah dikuasai oleh Sultan Haji, dan akhirnya Cirebon meminta bantuan kepada VOC dalam hal pengamanan.

Peristiwa penandatanganan perjanjian persahabatan tersebut merupakan awal dari surutnya eksistensi Cirebon yang pada saat itu sudah berdiri sejak 202 tahun lamanya dan dipertahankan dengan gigih dengan berbagai cara oleh para leluhur Cirebon yang juga leluhur Banten.

Dinamika selanjutnya tentu saja VOC semakin turut campur urusan internal kesultanan. Semenjak saat itulah, secara de facto, Kesultanan Kasepuhan hanya sebagai penguasa adat. Karena dalam prakteknya, kehidupan pemerintahan dan ekonomi  dikendalikan oleh VOC.  

Bahkan setelah VOC bubar tahun 1799, kekuasaan politik Keraton di Cirebon (termasuk juga Kasepuhan) diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda. 

Gubernur Jenderal Daendels menempatkan Cirebon sebagai salah satu Karesidenan dan para Sultan di Cirebon disejajarkan dengan kedudukan Bupati yang harus mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda. Lebih parahnya, pengangkatan dan penobatan seorang sultan juga harus mendapatkan persetujuan Belanda.

Kontrol dan intervensi Belanda begitu kuat sampai pada kebijakan dan internal keraton seperti soal suksesi. Contoh lain yang terjadi pada saat itu adalah diturunkannya Sultan Sepuh V (Sultan Sepuh Syafiudin Matangaji) oleh Belanda karena kelakuannya yang tidak menyenangkan pihak Belanda. 

Sebagai penggantinya ditunjuk saudaranya sebagai Sultan Sepuh VI (Sultan Sepuh Hasanudin) yang dianggap cenderung lebih kompromi. Berdasarkan beberapa keterangan sejarah yang beredar, Sultan ke VI bukanlah saudara kandung dari Sultan ke V, tetapi keponakan (sumber lain menyebutkan adik ipar).

Berdasarkan cerita sejarah, peralihan kekuasaan dari Sultan Sepuh IX (Sultan Raja Sulaeman) ke Sultan Sepuh X (Sultan Raja Atmaja) juga mengalami berbagai polemik dan dinamika. Setelah Sultan IX wafat, dilakukan perwalian oleh Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran Syamsudin IV). Pangeran Adiwijaya menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria sesuai dengan penegasan Residen Belanda untuk Cirebon tahun 1867.

Tidak lama memerintah, Pangeran Raja Satria kemudian digantikan oleh saudaranya, yaitu Pangeran Raja Jayawikarta yang memerintah sekitar tahun 1875-1880. Setelah itu baru kemudian turun tahta ke Sultan Sepuh X, Sultan Raja Atmaja menggantikan saudaranya, Pangeran Raja Jayawikarta.

Mencermati dinamika suksesi tahta tersebut, ini memperlihatkan bahwa intervensi dan kontrol Belanda terhadap kehidupan internal kesultanan. Sebagai bukti lain bahwa Belanda memiliki kewenangan dan penentu dalam hal pengangkatan atau penobatan Sultan adalah bendera kebesaran Cirebon yang asli saat ini masih tersimpan di Belanda. Bendera atau panji ini biasa digunakan dalam prosesi pengangkatan atau penobatan sultan.

Kooptasi Kolonial Belanda terhadap Keraton seperti itu menjadi sebuah alasan logis jika pihak keraton pada akhirnya menempatkan Belanda pada kedudukan yang sedemikian rupa pentingnya.

Saat kondisi keraton "tersandera" seperti ini, perlawanan dilakukan dari luar. Beberapa keluarga keraton yang memilih keluar dari lingkungan keraton yang kemudian mendirikan pesantren dan padepokan inilah yang kemudian melakukan konfrontasi.

Sementara itu, polemik yang berkembang baru-baru ini, Raharjo selaku cucu keturunan Sultan ke XI (Aluda Tajul Arifin) menggugat tahta kesultanan dan ingin meluruskan sejarah serta mengembalikan pakem mengenai penurunan tahta sultan. 

Dia menuding Sultan Sepuh ke XII (Raja Rajaningrat) tidak sah karena bukan keturunan asli. Ia menganggap, selain bukan keturunan Raja, Sultan ke XII yang bernama asli Alexander adalah anak orientalis Belanda bernama Snouck Hurgronje yang menikah siri dengan kerabat Keraton Kasepuhan. Karena tidak direstui Sultan, mereka diasingkan keluar dari keraton dan anaknya dititipkan pada Sultan ke XI.

Secara sederhana, Sultan Raja Rajaningrat merupakan anak selir dengan orientalis Belanda yang bukan dari garis keturunan laki-laki. Penobatannya pun pada saat itu ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Jika melihat kronologi demikian, maka wajar jika ada ketakutan akan hilangnya silsilah yang selama ini menjadi pakem dan dipegang erat kalangan anak keturunan Sunan Gunungjati. Sultan keturunan selanjutnya akan semakin melenceng dari garis keturunan.

Kalau pengangkatan Sultan XII dianggap semacam perwalian disebabkan anak keturunan dari Sultan sebelumnya belum cukup dewasa, seharusnya jika turun tahta, maka pengganti berikutnya dikembalikan pada keturunan yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana terjadi pada peralihan tahta Sultan IX kepada Sultan ke X.

Namun satu hal menarik, jika tujuannya adalah ingin mengembalikan tradisi, pakem dan memurnikan garis silsilah, sepertinya perlu menarik jauh ke belakang. Setidaknya melacak mulai dari Sultan Sepuh ke VI yang saat itu penunjukannya oleh Belanda.

Mengembalikan Wibawa

Sementara itu, keberadaan keraton dan kesultanannya yang masih aktif memerlukan sebuah "legalitas" mengenai kekuasaan dan kedudukannya saat ini, minimal secara kultural. Jika melihat dinamika era modern saat ini, dimana keraton tidak memiliki kedudukan formal dalam pemerintahan, kekuasaan dan kedudukannya saat ini setidaknya berasal atau dibentuk dari 4 hal.

Pertama, aspek genealogi. Dalam hal ini, faktor kemurnian nasab atau silsilah sultan sampai pada Sunan Gunungjati, bahkan bermuara pada Rosulullah Muhammad SAW menempati posisi sangat penting. Hal ini juga berkaitan dengan aspek yang kedua, yaitu agama dan budaya.

Kesultanan Kasepuhan merupakan Kesultanan Islam yang memiliki misi dakwah penyebaran syiar Islam sebagaimana yang dilakukan para pendirinya, Pangeran Cakrabuwana dan Syarif Hidayatullah yang juga merupakan seorang ulama dan waliyullah. Maka repositioning seorang sultan menjadi ulama atau tokoh agama sekaligus juga tokoh adat merupakan hal yang cukup krusial untuk bisa mempertahankan dan mengembalikan wibawa kesultanan.

Ketiga, peran keagamaan dan relasinya dengan kalangan agama. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Cirebon masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak keraton. Maka, tetap mempertahankan keterjalinan ini menjadi penting untuk misi dakwah dan pendidikan, selain juga untuk tetap menjaga hubungan kekeluargaan.

Keempat, aspek kharisma yang dipengaruhi wibawa nama besar dari ujung silsilah keluarga keraton. Untuk menjaga aspek kharisma ini, selain tetap menjaga garis keturunan, juga diinternalisasi melalui pendidikan dan gemblengan kalangan internal keraton kepada putra mahkotanya mengenai agama, tata laku, kebudayaan termasuk juga kesenian. Artinya tidak hanya mengandalkan kharisma kebesaran nama leluhur saja, tetapi juga mencoba menginternalisasi apa saja yang dimiliki leluhurnya.

Polemik suksesi tahta sultan dan wacana pelurusan sejarah Kesultanan Kasepuhan membuka kembali dialektika sejarah. Ini juga sekaligus sebagai momen untuk kembali mengangkat kedudukan dan kewibawaan Keraton Kasepuhan di mata masyarakat luas. Harapannya, keluarga keraton bisa duduk bersama dan terbuka, agar menjadi terang yang sebelumnya gelap, menjadi jernih murni yang sebelumnya dianggap keruh, menjadi lurus yang sebelumnya dianggap melenceng. Pada akhirnya bisa memutuskan yang terbaik bagi kemajuan Keraton Kasepuhan dan kemajuan Cirebon secara umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun