Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapak Tilas Sejarah Polemik Tahta Kesultanan Kasepuhan

12 Agustus 2020   16:10 Diperbarui: 12 Agustus 2020   20:56 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengembalikan Wibawa

Sementara itu, keberadaan keraton dan kesultanannya yang masih aktif memerlukan sebuah "legalitas" mengenai kekuasaan dan kedudukannya saat ini, minimal secara kultural. Jika melihat dinamika era modern saat ini, dimana keraton tidak memiliki kedudukan formal dalam pemerintahan, kekuasaan dan kedudukannya saat ini setidaknya berasal atau dibentuk dari 4 hal.

Pertama, aspek genealogi. Dalam hal ini, faktor kemurnian nasab atau silsilah sultan sampai pada Sunan Gunungjati, bahkan bermuara pada Rosulullah Muhammad SAW menempati posisi sangat penting. Hal ini juga berkaitan dengan aspek yang kedua, yaitu agama dan budaya.

Kesultanan Kasepuhan merupakan Kesultanan Islam yang memiliki misi dakwah penyebaran syiar Islam sebagaimana yang dilakukan para pendirinya, Pangeran Cakrabuwana dan Syarif Hidayatullah yang juga merupakan seorang ulama dan waliyullah. Maka repositioning seorang sultan menjadi ulama atau tokoh agama sekaligus juga tokoh adat merupakan hal yang cukup krusial untuk bisa mempertahankan dan mengembalikan wibawa kesultanan.

Ketiga, peran keagamaan dan relasinya dengan kalangan agama. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa pondok-pondok pesantren yang ada di wilayah Cirebon masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak keraton. Maka, tetap mempertahankan keterjalinan ini menjadi penting untuk misi dakwah dan pendidikan, selain juga untuk tetap menjaga hubungan kekeluargaan.

Keempat, aspek kharisma yang dipengaruhi wibawa nama besar dari ujung silsilah keluarga keraton. Untuk menjaga aspek kharisma ini, selain tetap menjaga garis keturunan, juga diinternalisasi melalui pendidikan dan gemblengan kalangan internal keraton kepada putra mahkotanya mengenai agama, tata laku, kebudayaan termasuk juga kesenian. Artinya tidak hanya mengandalkan kharisma kebesaran nama leluhur saja, tetapi juga mencoba menginternalisasi apa saja yang dimiliki leluhurnya.

Polemik suksesi tahta sultan dan wacana pelurusan sejarah Kesultanan Kasepuhan membuka kembali dialektika sejarah. Ini juga sekaligus sebagai momen untuk kembali mengangkat kedudukan dan kewibawaan Keraton Kasepuhan di mata masyarakat luas. Harapannya, keluarga keraton bisa duduk bersama dan terbuka, agar menjadi terang yang sebelumnya gelap, menjadi jernih murni yang sebelumnya dianggap keruh, menjadi lurus yang sebelumnya dianggap melenceng. Pada akhirnya bisa memutuskan yang terbaik bagi kemajuan Keraton Kasepuhan dan kemajuan Cirebon secara umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun