Tentu tidak perlu dipertanyakan mengenai kualifikasi pendidikan bagi tenaga guru honorer ini. Sudah barang tentu banyak yang tidak memenuhi standar.
Dari sekian banyak sekolah SD yang dikunjungi di Alor, komposisi tenaga pengajar PNS dan yang honorer atau pengabdian, sangat timpang. Satu sekolah rata-rata hanya ada 3-4 guru PNS, bahkan ada yang hanya 2 guru dengan jabatan PNS.Â
Meski dengan keterbatasan semua itu, semangat belajar dan mengajar di sana patut diacungi jempol. Mereka rela berjalan kaki naik turun bukit tanpa alas untuk sekedar belajar di sekolah yang hanya beberapa jam saja.
Bukan karena mereka tak mampu secara intelektual, tetapi hanya persoalan kesempatan dan privilage semata yang tidak mereka miliki seperti kita yang di Jawa atau daerah perkotaan lainnya.
Saat pemerintah pusat mulai melirik pembangunan infrastruktur secara masif untuk daerah luar Jawa yang selama ini tidak tersentuh pembangunan, seharusnya kita tak perlu sinis.Â
Selama ini saudara kita sudah cukup menanggung kesulitan hidup di tanah air Indonesia. Sebagai sesama warga negara, sudah saatnya mereka bisa menikmati hal yang sama. Sebuah pemerataan pembangunan, pemerataan kesejahteraan.
Saat ini kita seharusnya tak perlu lagi membuat dikotomi tentang tradisional-modern, desa-kota, terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang penting adalah soal value atau nilai yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya.
Dengan demikian kita tak akan melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H