Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alor, Sebuah Peta yang Terlupa

11 Juli 2020   23:40 Diperbarui: 12 Juli 2020   13:42 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai di Alor, dokumen pribadi)

Tentu tidak perlu dipertanyakan mengenai kualifikasi pendidikan bagi tenaga guru honorer ini. Sudah barang tentu banyak yang tidak memenuhi standar.

Dari sekian banyak sekolah SD yang dikunjungi di Alor, komposisi tenaga pengajar PNS dan yang honorer atau pengabdian, sangat timpang. Satu sekolah rata-rata hanya ada 3-4 guru PNS, bahkan ada yang hanya 2 guru dengan jabatan PNS. 

Meski dengan keterbatasan semua itu, semangat belajar dan mengajar di sana patut diacungi jempol. Mereka rela berjalan kaki naik turun bukit tanpa alas untuk sekedar belajar di sekolah yang hanya beberapa jam saja.

(Beberapa siswa sekolah dasar hendak berangkat ke sekolah. (Foto dokumen pribadi)
(Beberapa siswa sekolah dasar hendak berangkat ke sekolah. (Foto dokumen pribadi)
Maka wajar jika saudara-saudara kita yang berasal dari daerah terluar atau pelosok Indonesia sulit bersaing. Wajar pula jika daerahnya lambat dalam pertumbuhan dan perkembangan, karena kualitas pendidikan di sana juga tidak memadai. 

Bukan karena mereka tak mampu secara intelektual, tetapi hanya persoalan kesempatan dan privilage semata yang tidak mereka miliki seperti kita yang di Jawa atau daerah perkotaan lainnya.

Saat pemerintah pusat mulai melirik pembangunan infrastruktur secara masif untuk daerah luar Jawa yang selama ini tidak tersentuh pembangunan, seharusnya kita tak perlu sinis. 

Selama ini saudara kita sudah cukup menanggung kesulitan hidup di tanah air Indonesia. Sebagai sesama warga negara, sudah saatnya mereka bisa menikmati hal yang sama. Sebuah pemerataan pembangunan, pemerataan kesejahteraan.

Saat ini kita seharusnya tak perlu lagi membuat dikotomi tentang tradisional-modern, desa-kota, terbelakang-maju dari tampilan fisik baik secara kedaerahan maupun personal. Yang penting adalah soal value atau nilai yang dianut dan dipraktekkan oleh masyarakatnya.

Dengan demikian kita tak akan melupakan nasionalisme dalam peta nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tak ada lagi peta yang terlupa seperti Alor dengan keindahan alam dan budaya masyarakatnya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun