Aku pun tercenung ketika kuinjakkan kaki ini. Kuayunkan langkah ini, setapak demi setapak di tanah yang baru aku tahu, itu Alor. Jujur, aku mengakui saat itu, bahwa di sana lah medan bertempur untuk menggugurkan sebuah kewajiban tugas.Â
Bahkan, sempat terbesit enggan jika harus hidup di sana walau sebulan. Lagi-lagi, saat itu aku berpikir hanya sebatas menggugurkan kewajiban tugas.
Kukuatkan langkah, kutekadkan hati, agar tak goyah terhantam gelombang frustasi. Hari demi hari berlalu. Mulai kuakui Alor itu menyenangkan, unik, dan memiliki pesona tersendiri.Â
Baru kusadar, di sanalah, di kedalaman lautan teduh, tersimpan mutiara kedamaian. Jauh dari hiruk pikuk pragmatisme mahluk metropolis. Dekat dengan batas-batas nurani.
Di sana kubelajar tentang keluguan. Di sana pula kubelajar tentang arti ketulusan. Dan di sana aku belajar tentang Indonesia, dari sisi yang lain
Kadang kumenitikkan air mata di tengah derai tawa wajah-wajah lugu nan tulus mereka. Sering aku tinggalkan teman-teman yang sedang bercengkrama dengan mereka.Â
Bukan untuk menghindar karena risih, apalagi benci. Hanya untuk menyembunyikan air mata ini mengalir. Agar mereka tetap tertawa lepas tanpa terganggu air mata ini.
Bukan bermaksud melankolis, tapi hidup di sana memang menghadirkan alunan melankoli. Bernada bebas, beraliran lepas. Nada demi nada begitu saja masuk ke dalam sanubari membentuk ritme.
Kalabahi adalah tempat pertama yang kusinggahi di tanah Alor pada Tanggal 4 Oktober 2013. Tadinya, kupikir itu adalah sebuah kelurahan atau desa kecil di Alor.Â
Namun ternyata, baru tahu bahwa itu adalah "kota impian", dream city. Sebuah Ibu Kota Kabupaten Alor. Disimpulkan demikian setelah beberapa minggu hidup di pedalaman Alor, yang akan kuceritakan kemudian.
Sepintas tak ada yang menarik di ibu kota ini. Bahkan jika dibanding kota kecil di Pulau Jawa seperti Purbalingga, Purwokerto, Ciamis, Kuningan, Wonosobo, Solo, Banyuwangi, apalagi dengan Bandung, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Tak terbanding. Masih kalah jauh.